sumber gambar : https://twitter.com/sarlisart/status/1053470599748567040 |
Dibandingkan dengan cinta sesama mahkluk, topik itu menjadi yang paling irit dalam obrolanku. Dibandingkan cinta sesama mahkluk, bagaimana agar konsisten mencintai sang pecipta makhluk itu. Bukankah itu perjuangan yang luar biasa? Untuk tetap berusaha mencintai pencipta dibandingkan ciptaannya?
Tapi tidak sederhana seperti narasi di atas. Dalam menarasikan jatuh hati, dalam ruam sepi aku balik lagi setelah tidur bertahun. Kembali menyelinap lagi pada lampau yang ditirai. Setelah akhirnya aku tahu bahwa merindu tidak ada akhirnya, karena semua bermula lagi layaknya wajah di bilas air suci 5 kali sehari, berulang dan berulang. Padahal, yang lampau itu bagai pesta para mudi yang ramai dan balik lagi dalam keadaan sepi, menyedihkan. Dan kini narasi itu menyelinap lagi.
Rindu sesama makhluk adalah hal yang paling menyakitkan. Dalam narasi ini, aku gambarkan seorang manusia yang dulu uring-uringan.Badanya panas, bibirnya pucat, matanya bengkak, pipinya basah, mukanya semrawut, bahkan ber-ingus. Berkeluh pada pencipta, selalu ungkap namanya. Otak beku, lidah kelu, dan merundung rindu memang semiris itu. Menyedihkan bukan? Namun yang lebih menyakitkan adalah merindu dengan manusia yang terlelap dalam bumi. Ya, manusia yang jasadnya sudah mati.
Bahkan hujan kali ini mengacaukan segalanya. Merindu itu biasa, yang tak biasa kali ini adalah menahan rindu. Aku tahu bahwa akan seberat itu merindumu, tapi aku sanksi bahwa semua itu datang kala sendu ini. Aku tak bisa bayangkan dengan sempurna wujudmu itu. Yang mendadak pergi tanpa pamit, bahkan tak izinkan aku bertandang pada saat akhirmu. Kala ragamu dan raga bumi menyatupun, aku tidak berdiri di sampingmu. Lalu obat penenang seperti apa yang bisa meredakan rindu ini? “Puluhan purnama termakan rahwana, tapi wujudmu selalu mampir di otak saya. Mati mu memang akhir duniamu, tapi kau kacakan duniaku.”
Yang paling aku tahu, cara paling sederhana adalah kirimkan doa terbaik untuknya. Lagian juga belum lama ini menangis menjadi sebuah bakat, dan bersujud sudah menjadi sebuah kebutuhan.
Lalu karibku selalu saja obral obrol tentang merindunya. Padahal kalau aku, aku cukupkan pada sang pencipta dan yang terlelap jazadnya. Jadi aku tak tahu bagaimana menemani karib-karibku yang selalu rindu itu. Aku hanya merapal,
Karibku, menjadi seorang perasa memang butuh banyak tenaga. Serba salah seperti luka yang pastinya akan sembuh tapi tetap perih juga. Sedang kau diantara dua yang pun tidak bisa bersama. Jangan biar dirimu acak seperti itu. Meski pun aku yang lalu pun sedang uring-uringan ditahan. Sampai pucat pasi dan berantakan. Setidaknya, kau harus lebih tegar.
Hebat juga aku bisa merapal mantra seperti itu pada karibku. Yang aku tahu, mereka semua hilang akal. Bagaimana bisa kapasitas otak mereka yang sebesar itu hanya muat untuk satu nama saja, tuan hatinya.
Tapi, delusiku pun lebih gila. Kalau sekarang, dalam keadaan waras, lebih ingin berkata kasar pada diri sendiri. Tapi bersyukur juga pernah delusi sebagai wanita. Aku kira hidupku hanya berisi buku yang hanya itu-itu. Dalam delusi itu, yang bisa aku gambarkan hanyalah mengacaukan segala logika. Karena kacau, jadi aku menyiapkan segala.
Kamu tahu apa yang sedang aku latih? Aku berlatih untuk siap. Aku berlatih menjadi perempuan yang siap untuk kecewa. Untuk menekan ekspektasi drama yang biasa ku cipta dalam teater ku sendiri. Kamu tahu apa yang sedang aku tunggu? Bukan wartamu. Aku menunggu diriku untuk sembuh. Aku menunggu diriku untuk pulih. Karena aku tahu bahwa kecewa butuh banyak tenaga.
Kalau aku sebagai manusia, delusi ya sudah nikmati saja. Lagian delusiku pun sudah kusiapkan banyak tenaga. Biar nanti kala aku kembali waras, aku masih punya tenaga untuk menjalani hidup sehari-hari. Tapi, perempuan jatuh hati kan paling egois. Ia hanya memikirkan bahwa yang di depannya adalah masa depannya. Mana tahu bahwa sebenarnya kapasitas otak mereka juga ada ruang untuk memikirkan hal lainnya, nasib dan masa depannya misalnya. Dalam egois itu aku jengkel.
Bagaimana aku tahu nasib waktu bang? Nasib sendiri saja masih bungkam. Seorang kawan berkelakar kalau aku lari dari kenyataan, ya candaan bocah zaman sekarang. Lalu aku tepis, aku saja tak mampu membedakan kenyataan dan khayalan. Ya, mengasihani pada diri pribadi, masih. Berangan bertukar opini pribadi, masih. Ingin mampir ke toko buku dan kedai kopi. Saya kira mencintai cukup membahagiakan dan membuat perut kenyang. Tapi ada kalanya manusia malah terbebani dengan itu. Mungkin, bagaimana ia bisa membayar kasih itu dengan luka atau kabar gembira. Saya kira saya cukup dengan sederhana menyuguhkannya, cukup jujur tanpa ada segala sakarin dalamnya. Padahal yang sederhana itu cukup memberi peluh dan harga diri yang diobral.
Jengkel memang menjadi perwakilan kata yang tepat. Aku termasuk manusia yang jengkel jikalau aku malah jatuh hati pada manusia. Entahlah, tapi yang pasti, jatuh hati itu menggadai hati. Logika dan rasa cuma ia yang punya. Tetiba raga ini jadi kosong. Jalan ke kampus layaknya zombie, makan di warteg layaknya zombie, nonton bioskop layaknya zombie. Begitulah orang yang tergadai hati. Ya, begitu delusiku itu.
Mendengar detak jarum jam tangan teman yang tertinggal di kamar pun menjadi menjengkelkan. Oh ya, sepi memang mengacaukan segalanya, mengacaukan logika. Sudah tahu logika wanita mungkin hanya tinggal remah-remahnya saja. Seringnya berandai menjadi seorang pria ketimbang wanita. Menjadi wanita itu susah untuk menambah porsi logika. Sungguh. Aku saja sampai heran kenapa menangis seperti resep obat yang harus 3 kali sehari (bahkan lebih). Pun menangis bukan sebagai penawar segala. Untuk apa coba?
Dalam keadaan waras, aku ingin terpingkal rasanya saat melihat sisi lain diriku. Ketika aku gambarkan bagaimana narasi mengenai jatuh hati ternyata menyedihkan juga. Yang awalnya delusi, sepi, jengkel, marah, lalu pasrah.Jadi di sebelah mana bahagianya? Bahagianya adalah masih bersyukur masih bisa sakit hati pertanda masih punya hati. Setidaknya belajar untuk tidak tergesa dalam mencinta seorang hamba. Dengan begitu, waktu memberi ku ruang agar aku lebih logis memikirkan dia yang menurutku adalah masa depanku.Tapi karena berpikir dalam diam, anggapanku itu tak waras saja. Karena dalam diam seperti sisi koin, yang satu meredakan rindu sedang yang satu mengharap sesuatu. Wajar saja lah, namanya juga narasi jatuh.
Aku narasikan ini dengan keadaan sangat waras. Kalau dulu aku tidak sedang baik-baik saja, sedang sekarang aku lebih baik dari sebelumnya.
0 Komentar