sumber gambar : https://twitter.com/sarlisart?lang=en |
Awalnya, mana tahu bayi mungil itu menjadi bagian dari kartu keluarga kami. Ia lahir tepat pada pergantian tahun baru dan pada bulan paling suci dari kaum kami. Ia bulat menggumpal seperti kapas. Tangisnya tidak terlalu aku suka sepertinya, tapi ia adalah mainan baru bagi bocah umur 3 tahun sepertiku. Yang paling aku tidak tahu, kenapa bisa muncul bayi bulat itu di kamar tidurku. Tapi yang paling aku ingat dengan samar, aku hanya menunggu di luar pintu kamarku dengan beberapa orang yang sedang cemas sepertinya. Kemudian mereka bilang itu adikmu. Wah ajaib juga ya.
Dalam samar, aku hanya ingat bahwa bayi laki-laki itu sangat lucu. Ia putih dan gempal. Aku selalu mencium pipinya sampai ia sekolah dasar bahkan. kalau sekarang? aku paksa saja dia! Aku ajak ia main gundu, layangan, main sepeda, mancing di sungai belakang rumah, dan aku gandeng kemanapun. Menurutku dia paling baik dan lucu. Bahkan saking baiknya ia, waktu kelas 2 SD ia memandikan burung dalam gayung dengan cara dicelup celup lalu ia taruh di halaman rumah. Ketika 2 atau 3 jam kemudian, ya unggas itu mati. Kami satu keluarga tak tahu bagaimana manusia sepolos dia bisa membunuh unggas itu dan matilah si unggas dengan sia –sia.
Si bayi itu adalah pemilih. Aku adalah manusia omnivora sedang ia lebih menjadi karnivora. Sayangnya, keluarga kami bukan pemburu tangguh yang hanya menyiapkan daging-dagingan. Sedang ada pada suatu hari si bayi itu harus kena kejahatan dalam rumah tanga sepertinya, karena dia tidak bisa makan sayur. Ia menangis merajuk untuk tak mau makan sayur yang sudah sedia dipiringnya. Dengan seketika sayur dipiring yang sedang ia makan, oleh si ibu diambilnya dan dibasuhlah layaknya air wudhu pada mukanya. Ia menjerit menangis, sedang aku hanya mematung melihat si adik bayi ku yang sudah besar itu menangis. Setelah itu, aku menjadi lebih rajin untuk makan apapun yang ibu sediakan.
Ada sesal, bahwa waktu itu aku tak tau apa itu peran. Seringnya si bayi itu malah kena marah si ibu padahal itu salahku. Setelah sesal mendalam aku hanya minta maaf dan membelikannya jajan barang beberapa ratus perak atau hanya seribu. Ingatkah ia, ia sering jadi tameng egoisku? Jangan sampai.
Pun dia bukan tidak mampu, hanya saja dia tidak terlalu cepat untuk mengerti sesuatu. Sesalku, kenapa dulu aku tidak jadi tutor saja buat dia. Ada waktu dimana ia harus datang ke kamarku untuk belajar dan dalam berapa jam itu kami sangat serius untuk belajar tentang “kalau Andi punya permen 20 dibagi ke 4 temannya jadi berapa permen Andi” dan soal lainnya yang lebih kompleks dari itu. Lalu, hal yang sangat menyedihkan terjadi ketika ia balik ke kamarnya untuk mengerjakan soal lainnya, ia menangis karena ketika pindah ruang itu ia lupa segala yang sudah aku ajarkan. Oh Tuhan, kenapa ada manusia seperti itu. Tapi, masa tiap malam ia harus menangis sembari mengerjakan PR matematikanya.
Pernah juga ia membuat kaget, ketika ia pulang dari sekolah dasar, ia membawa piagam juara 2 mengaji Al-quran satu kecamatan. Salah memang, karena kami tak berharap banyak dari dia padahal ia mampu di bidang lainnya. Dengan mau mengaji setiap sore saja sudah bersyukur sepertinya, tapi nyatanya ia malah memberi bahagia.
Kami saling berbagi tangis. Saat SD, saat ia SMP, bahkan saat ia menengah atas. Aku ingat tangis terakhir kami yakni saat ia berbaring dalam kasur putih di ruangan pucat. Ia terpaksa untuk tidur karena dua kakinya tak bisa ia gerakan barang satu centimeter saja. Keduanya dibalut perban layaknya meriam. Kedua perban putih itu layu karena selalu meneteskan air kental merah dari kedua kakinya. Darah, menjadi hal paling menakutkan dikala itu. Dalam perban yang dibalut layaknya meriam, darah itu masih bisa keluar tanpa tahu malu. Sungguh, tidak bisa digambarkan. Ya, ada kesalahan fatal yang membuatku harus melihat matanya dan kami hanya bisa menangis bersama. Dalam ruang pucat itu kami serasa satu rasa. Yang aku takutkan ia tak bisa bermain bola sepak di sawah depan rumah kami. Yang ia takutkan ialah ia harus kehilangan dua hal yang dibalut perban itu.
Tapi pun kami sering menertawakan bayi terakhir dalam keluarga kami. Setelah 3 tahun kelahiran bayi laki-laki pertama, lahir bayi laki-laki kedua. Bayi paling terakhir, ia paling anarki. Kalau saja ia marah, ia tau takan mampu mengalahkan kami berdua jadi ia selalu bawa batu besar dari halaman tetangga. Ia tak pernah segan melempar batu itu. Hebat.
Namun dalam bertumbuh, kami sempat beda arah. Dua bayi tadi ikut bersama ibu bapak kami dan pindah ranah, aku sedia menunggu mereka kembali. Tak lama, aku pindah ranah karena melanjutkan sekolah. Keluarga kami seperti piket malam. Ada yang harus pergi untuk jaga malam. Entah anaknya atau bapaknya. Seperti itu saja sampai sekarang.
Namun,dari ketiadaan itulah yang paling dirindukan kan? Karena tidak ada hal yang berjalan sempurna dalam dunia. Jadi, maklum saja.
0 Komentar