Hampir berulang, di setiap malam jumat dengan kasus khusus, tiba tiba terdengar petir yang tak hanya menggelegar tapi juga merobek langit malam. Dengan suaranya seperti seorang yang sengaja membuka pintu perlahan, hujan datang segera dan jatuh membumi lebih ramah dari biasanya. Air hujan di jalan aspal mulai menggenang karena daya serap aspal yang bodoh akibat proyek pengecoran jalan yang istimewa namun hasil biasa saja. Ah, aku lupa untuk menjelaskan kasus seperti apa hari ini.
Baiklah, setelah hujan membumi dan jatuh mengguyur kota kecil di kawasan rumah tinggalku, aku merasa khawatir kalau-kalau ini adalah akhir duniaku. Maksudku, jika dihitung, bumi sekarang sudah tua dan berumur 2021 setelah masehi, atau bisa jadi hanya di kawasan tanah tua yang kutinggali ini yang terjadi bencana atau sebut saja kiamat. Apalagi, Jawa adalah tanah tua yang katanya adalah kerajaan pacific yang hilang. Oh! Maka, sekarang, dalam keadaan langit yang robek dan menyala karena kilat begitu suram, rasanya aku bisa melihat kejauhan dari kaca jendelaku bahwa ada yang sengaja merobek langit untuk keluar seperti tahanan merobek sel dalam delusinya. Atau, raksasa dalam buku Oscar Wilde yang sedang merobek daun pintu
Tapi untung saja, hujan reda dengan cepat hanya menyisakan genangan di aspal seberang jalan karena daya serap murahan, seperti kubilang sebelumnya karena proyek pengecoran jalan yang sangat asyik untuk dimanfaatkan oleh para tangan nakal. Lalu, aku jadi teringat padahal satu jam lalu aku membawa diri dengan skuter peninggalan ibu menyusuri kota seorang diri. Tak biasanya, kota seperti mati suri. Meski masih saja kendaraan motor buatan Jepang masih lalu lalang, namun bagiku kota ini sedang pingsan. Jalan yang sepi, perbatasan dijaga polisi. Membosankan, gelap, dan bahkan bulan malas untuk menampilkan diri di malam ini. sepertinya, inilah pertama kali aku merasakan kesibukan kota yang pingsan. Dalam mengayuh skuterku, aku hanya berpikir, bagaimana isi hati seorang yang sedih karena ditinggalkan? Kota ini saja rasanya kelam dan membosankan.
Dari kejauhan, kulihat seorang anak tikus-tapi mungkin saja ibu tikus karena kulihat dari kejauhan, sedang berusaha melepaskan diri dari jerat sampah atau ranting selokan. Setidaknya ini menjadi tontonanku saat ini, melalui jendela kamarku di lantai dua yang tak begitu tinggi. Oh iya, berbicara tentang tempatku tinggal, hanya kawasan pinggiran kota padat dengan manusia yang masih ramah dan tamah untuk mengurusi urusan orang lain. Namun, bagiku, bukankah itu bukan termasuk ikut campur? Setidaknya ada orang yang pura-pura peduli dalam hidup ini dibandingkan tak ada sama sekali. Apalagi, bisa jadi kalau nanti aku akan cemas setiap malam Jumat karena aku berpikir akan kiamat.
Dari tontonan anak tikus atau ibu tikus itu, aku teralihkan pada tukang nasi goreng keliling yang selalu mangkal di bawah pohon dekat musola kecil seberang rumah. Dalam genangan air, ia dengan lihai memasukkan bumbu nasi goreng yang kalau dari jauh sepertinya ia memasukkan minyak dulu, lalu bumbu khas bawang dan telur. Aku tak bisa ceritakan apa saja karena bisa jadi itu adalah resep rahasianya. Tapi, yang lebih rahasia adalah bahwa sebenarnya bagaimana seorang tukang nasi goreng bisa bahagia dan berkecukupan untuk menyekolahkan 5 anaknya hingga tamatan kuliahan.
Kadang (meski bukan langganan), saat aku membeli nasi goreng putih polos kesukaanku, aku bertanya kabar pada si Penjual nasi goreng sembari riset penelitian melalui instrumen wawancara langsung. Karena tentu saja, obrolan pembuka apa kabar akan mengalir dan berbuntut pada keluarga, anak, pekerjaan anak, kebutuhan sembako yang mahal, omset jualan, bahkan ngobrol perihal pemerintahan sekarang. Nah untuk terakhir, aku tak begitu kerjasama untuk memberi respon, karena asal tahu saja, bisa jadi penjual nasi goreng seberang kamarku ini seorang pemeran aktor andalan.
0 Komentar