Dari judulnya saja sudah enak dibaca, tak menyangka sebuah mata yang enak di pandang adalah ditujukan bagi orang yang ‘mungkin’ lebih suka tangan di atas dibanding tangan di bawah.
Cerita pendek yang paling berkesan bagi saya yakni Paman Doblo Merobek Layang-layang. Pada cerita ini, setidaknya perubahan atau industrialisasi yang ada pada cerita ini bikin sedih. Tak semua hal yang berkaitan dengan modernisasi akan berjalan baik memang. Apalagi perihal kebahagian dan kesederhanaan, lama-lama akan terkikis karena ya “tidak ada pilihan”. Rasanya juga ingin bilang “ kembalikan Paman Doblo yang dulu”.
Cerita lain yang membuat untuk lebih bersyukur yakni cerita dengan judul Sayur Bleketupuk. Baca saja. Jika memang masih ada hal seperti ini terjadi di sekitar kita, sungguh kita sebagai manusia memang patut dipertanyakan. Namun, aku bisa bilang kalau kejadian Sayur Bleketupuk ini masih ada di tahun 2020. Gini, setiap perempatan lampu merah, setiap dusun yang akses listrik dan signal masih kurang, selalu ada bagia kecil yang menjadikan Sayur Bleketupuk hidup bukan hanya di tulisan.
Setelah membaca buku ini, atau pada saat baca buku, setiap sudut dalam benak tersentuh langsung oleh beliau karena penggambaran dan alur ceritanya. Yang paling aku bisa "nikmati", karena aku masih bersinggungan dengan manusia dengan kelas sosial yang rentan, yakni sosial bawah, maka aku benar-benar bisa memahaminya.
Buku ini kumpulan 15 cerita pendek yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Apalagi, ada edisi cover buku Ahmad Tohari keluaran gramedia, keren-keren, harus jadi koleksi lenkap. Inginnya.
0 Komentar