Catatan Perjalanan ke Baduy Dalam 9-10 Februari 2024

Sebenarnya, salah satu hal yang dibutuhkan saat ini bukan tempat tujuan, namun proses menuju ke tempat tujuan. Karena cuma hal itu saja yang bisa membuat otak tidak berpikir melebihi kapasitas. Yang hasilnya hanya pikiran acak-acakan mengenai ekspektasi yang dibangun oleh benak sendiri. 

34 ribu langkah dijalani dengan engap dan sedikit komedi adalah preskripsi paling murah ketimbang bercerita ke psikolog. Kecuali jalur Halodoc atau BPJS Kesehatan yang pasang tarif lebih murah dari harga normal. Meski 6 jam perjalanan di jalur batu dan lumpur membuat badan dan kaki sakit, tapi sebenarnya membuat pikiran lebih sehat dari sebelumnya. Dan itulah yang dibutuhkan.

Seperti wajarnya hidup. Menuju Baduy juga punya jalur masing-masing. Jalur 5 jam perjalanan, atau 2 jam perjalanan. Dan jalur ini ternyata ditentukan oleh pilihan sendiri. Dan sepertinya, itu berlaku dalam kehidupan kita masing-masing. Sebelum takdir bekerja, ternyata semua bermula dari keputusan kita.
Dan, memang kita perlu pintar dalam memilah. 5 jam perjalanan membuat badan sakit, namun ternyata pikiran kita lebih sehat karena lebih mindfulness. Namun, saat sampai tujuan, bagaimana kita melihat hasil juga ditentukan oleh diri kita sendiri. Ada yang memilih langsung membersihkan diri dan tidur, atau menikmati gelapnya Baduy tanpa listrik dengan merenung. Semua pilihan itu, menghasilkan diri kita saat ini.

Entah mau merenung atau tidur, menuju Baduy Dalam sebenarnya lebih mudah dari yang kita pikirkan. Masyarakat Baduy dalam juga tak begitu asing. Hanya manusia yang terikat tradisi adat dengan cara memenuhinya. Bukan seperti sebagian kita yang menikmati kebebasan bahkan meninggalkan peraturan Tuhan.
Baduy Luar

Untuk menuju Baduy Dalam, pilih saja open trip termurah, terbaik, atau terkeren. Misalnya aku, memilih membayar 200 ribu dengan rute perjalanan awal di Desa Ciboleger. Sedangkan menuju ke desa ini, diharuskan menuju ke Stasiun Rangkasbitung dengan harga Rp12.000,- pulang pergi. Karena menuju stasiun juga butuh biaya, maka aku membawa motor dan menitipkannya semalam dengan harga Rp15,000-. Jadi totalnya, Rp 227.000 untuk perjalanan yang mengesankan.

Catatanya, open trip bukan menyediakan apa yang kamu mau. Bahkan menyediakan P3K atau motivasi hidup. Sejujurnya, open trip yang kurasakan ini sedikit lebih individual. Mungkin karena apa-apa terbiasa jalan bersama teman-teman (tya, yadi, fuad, glen, dharuri). Jadi, waktu untuk bercanda, waktu untuk istirahat, atau waktu untuk foto-foto tidak terlalu bisa dinikmati. Bahkan, seperti diburu buru waktu. Jadi, mandirilah jika ingin ke Baduy dengan open trip.

Namun, yang perlu digaris bawahi, rasanya masih unreal saja bahwa aku pernah menginap di desa Kanekes (Baduy Dalam). Sejatinya, ini adalah salah satu tempat sakral yang sejak dulu aku idamkan. Selalu menjadi rencana dan wacana setiap tahunnya. Namun, sepertinya memang Allah sengaja menaruhku di tempat baru untuk bisa mewujudkan perjalananku satu persatu. Amin.

Lalu, Beginilah Perjalananku…



Anggaplah kita sedang menonton Netflix dan kamu sebagai tokoh utama. Kamu sedang kehujanan, memegang tongkat, dan menapaki jalur batu dan tanah merah yang lembek. Yang penuh bekas air. Namun tetesan gerimis dan kabut menjadi selingan disetiap helaan napas. Pohon besar berlumut dengan daun berserakan di bawah menjadi teman perjalanan terbaik. Memayungimu dari air hujan yang datang keroyokan dan terburu buru. 


Perjalan terlalu jauh untuk kita yang terbiasa di kota. Namun, selalu ada penghiburan disetiap langkah kita. Misalnya para wanita baduy dengan kecantikannya membawa kayu bakar dan menyalip kita di tanjakan. Dengan baju adat baduy dan tak beralas kaki, ia berjalan begitu senyap lalu menghilang diujung jalan. Atau ketika anak kecil umur 7 tahunan dengan paras yang lucu dan tampan serta cantik dengan baju adatnya keluar rumah untuk menikmati hujan. Hanya senyum malu malu dan menjauh dari orang luar. 


Kita akan melihat pemandangan lumbung padi yang berjarak dari jalur yang berada di sebelah kanan, dan bonusnya, selalu ada tempat meneduh untuk kita kehujanan. Setelah itu, kita akan sering melihat rumah sederhana dengan kayu bakar yang selalu menyala karena timbunan arang yang dijaga selalu oleh perempuan. Bahkan bayi kecil yang sedang tidur di amben, sedang dikipasi Ambu agar tidak menangis dan terbangun karena banyak suara dari manusia-mansuia luar yang sedang berdatangan.


Terlihat dari jauh beberapa anak dan ibu yang sedang bercengkrama di tengah gubuk di ladang. Di bawah langit biru nan ungu namun sedikit gerimis. Perjalanan masih begitu panjang. Dengan banyak jalur bercabang, pohon tumbang, dan kulit buah durian dan rambutan.


Aku masih bersyukur, jam 6 belum terlalu gelap meski hujan masih sering lewat. Setibanya, pukul 7 malam, suara air sungai makin deras. Anak laki-laki dan perempuan lumayan ribut dengan kedatangan mereka di desa baduy dalam. Bisa dikatakan, manusia dari luar ini begitu terpesona sampai lupa bahwa kita perlu menjaga omongan, obrolan dan tingkah kita. 


Singkatnya, wanita dan laki laki dipisahkan tempat saat mandi. Dengan bilik terbuka, jadi para perempuan sebaiknya bawa kemben untuk mandi. Dan disinilah ujiannya. Mau pipis atau mandi, harus di bilik yang tersedia. Dilarang menyalakan hape, meskipun untuk senter saja. Jadi, kalau mau, bawa headlamp dan kaca ya.


Dalam bilik itu, air mengalir dan ditampung dengan kayu. Batok kelapa dengan gayungnya, dan anyaman daun sagu sebagai dindingnya. Meski perjalanan membuatku menunduk untuk fokus ke jalan, aku tidak lupa melihat langit Baudy di malam itu. Bening, penuh bintang. ada satu rasa janggal yang tiba tiba loncat, rasa familiar atau rasa nostalgia apa ini. 

Setelah aku pikir, kesederhanaan. Betul.  Setelah mandi tanpa sabun, keramas tanpa sampo, sikat gigi tanpa odol, aku balik ke rumah. Dan kita makan bersama dengan makanan yang sudah dimasak oleh Ayah Baduy. 


Setelah makan, kita berdiskusi dan melontarkan banyak pertanyaan kepada Ayah. Apapun bisa kamu tanya di sini tentang Baduy. Dan setelah itu, tidurlah kita. DI rumah adat baduy dalam, dengan tembok kayu yang dianyam dan masih menyisakan ruang untuk cahaya matahari masuk, bahkan cahaya bulan di malam. Malam ini, bisa kita sebut sebagai malam romantis. Dengan kunang-kunang, suara air sungai yang kencang, suara serangga hutan. Aku tidur pulas.


Pagi hari, bangun karena bau durian yang sangat harum. Dan berisik teman-teman perjalanan yangs udah siap siap untuk bergegas kembali ke kota. Mau tidak mau, ya sudah, aku awali hari ini sambil susah melek. Berjalan keluar, dan melihat sekeliling perkampungan. Isinya menakjubkan. Tidak bisa kuceritakan.


Sepulangnya, aku makan durian (padahal ga suka sama baunya, dan ga pernah makan sejak tahun 2011. Di tahun 2011 pernah cicip 1 tapi hmm).  Lanjut pilih pernak pernik oleh oleh yang dibuat oleh Ayah. Aku pilih gelang (haha, ini aku minta belikan ke teman baik). setelah semua yang kuceritakan di atas, perjalananku selesai. Bagaimana pemandangan Baduy Dalam kusimpan di memori, dan catatan ini.



Posting Komentar

0 Komentar