Buku Menghilang, Menemukan Diri Sejati dibuka dengan Rene Descartes sang filsuf dengan pemikiran logis yang fokus pada nalarnya, kita akan tahu mengapa “cogito ergo sum” atau aku berpikir maka aku ada menjadi kalimat pernyataan bahwa kita memang hidup dan ada. Dalam bab ini, yakni aku berpikir maka aku ada, otak harus dimaksimalkan. Karena apa guna otak jika tak digunakan dengan baik!
Jadi, ketika kita meragukan sesuatu, kita berpikir, apakah sebenarnya kita hidup? Karena kita meragukannya, berarti kita memang sedang hidup. Ya, sederhananya gitu. Intinya sih, Descartes menyuruh kita meragukan, menyangkal, berpikir, dan akhirnya tahu bahwa melalui pikiran “bahwa kita ada”.
Di bab 2 Buku Menghilang, Menemukan Diri Sejati, Bab Hidup Berbekal Intuisi, Bergson kurang sepakat nih sama Descartes di Bab 1. Kalau kita fokus sama logika aja, ya ga bisa bro. Misalnya, ketika logika kita jalan tapi hati atau intuisi kita engga. Bukan manusia dong. Misal nih, ketika tetangga sakit kanker, nah kita jenguk dia dan bilang “ wah, kalau kanker mah ga bisa hidup lama uh. Soalnnya temen saya juga waktu itu sebulan juga meninggal”. Kan? kalau logis emang logis, tapi intusi kita ga dipake jadinya malah bikin suasana dan hati orang lain sakit.
Di bab 3, kita bakal ketemu Albert Camus dengan teori absurditasnya. Dunia tuh emang absurd kata Camus. Tujuan di dunia misalnya kaya, tapi kalau sudah kaya, terus? Lalu banyak kalimat yang aku garis bawahi di bab ini.
Orang yang punya harapan, kata Camus, adalah yang hidup di masa depan. Dia tidak hidup di masa kini. Orang yang terlalu banyak berharap biasanya tidak melakukan apa-apa saat ini karena dia hanya menunggu datangnya besok.Nikmati saja hari ini. Karena harapan adalah cara pengecut lari dari absurditas
Lalu, Camus juga peduli banget sama yang namanya MAKNA. Kalian pernah dengar apa yang dikatakan Panji Pragiwaksono? Menurutnya, kalau kita dikatain dan kita tersinggung, itu karena makna yang kita dapetin adalah “jelek”. Coba, kalau kita dikatain tapi makna yang sampai biasa aja. Pasti ga kesinggung kan? Dan ini aku juga temukan di buku “Jangan membuat masalah kecil menjadi masalah besar”. Karena menurut Camus, kitalah yang menempelkan maknanya!
Oh iya, Camus juga bikin pelesetan dari Descartes lho. “I Rebel, Therefore I Exist” dari “Aku berpikir maka aku ada”. Maksutnya, kalau manusia berpikir berarti manusia ada. Tapi, kalau Camus, eksistensi manusia ga sekedar ada karena mikir aja. Kalau kita bagian kerumunan dan mikir doang, kita ga bakal ketahuan kalau kita ada atau eksis lho. Makannya, rebel dulu biar ketahuan kalau kamu eksis! hahaha.
Bab 4, setelah dari Camus, bab Hakikat Hidup dan Kehidupan mengulas mengenai agama Hindu. Well, agak ga nyangka sih di buku ini ada ulasan bab ini. Tapi, mengejutkan dan dapat dicerna sekali. Namun, aku jadi tahu bahwa hindhu adalah sebutan. Karena ajarannya adalah weda. Di sini dijelaskan mengenai Brahman, Atman, Karmaphala, samsara, moksha. Dan itu adalah rukun iman yang disebut Panca Sradha.
Bab ini menarik karena penjelasannya gampang dimengerti. Misal, mengenai ibadah, juga jangan cuma badani. Kayak wiridan di lisan tapi hati tak tersentuh sama sekali. Jadi, lebih bagaimana kita mencapai level spiritual dalam 5 tahap Panca Sradha. Tapi, aseli! Menarik banget deh bab ini.
Bab 5 yakni Perjalanan Mencari Cahaya. Bab ini membahas mengenai agama Budha. Kalau bicara perihal Budha, kayaknya bakal langsung konek sama Siddharta Gautama kan? Tapi banyak yang perlu kita baca di bab ini. Selain Buddha adalah ajaran yang menginspirasi lahirnya filsafat eksistensialisme seperti schopenhauer, nietzsche, dan kierkegaard. ajaran ini juga lebih mengemukakan bahwa perjalanan atau pengalaman adalah yang terbaik. Untuk apa fokus pada weda jika hanya teorinya saja! gitu.
Bab 6 Antara Hidup agresif dan Menyerah berisi mengenai Gandhi yang fenomenal. Pokoknya, dibahas mengenai Gandhi! Ya intinya sih ahimsa banget deh. Tak ada kekerasan. Cuma, sayang aja soalnya dengan gerakan Gandhi kan banyak orang meninggal juga kan? Tapi, ternyata emang, orang yang ikut semangat Gandhi adalah orang yang sudah tak terikat dengan dunia. Jadi matinya tidak sia-sia.
Btw, baru tahu juga kehidupan muda Gandhi di buku ini. Bagaimana ia menjadi seorang pengacara namun ternyata ia tergagap untuk bicara. Meski begitu ia memiliki empati tinggi yang mampu menggerakan jiwa manusia.
Nobody can hurt you without permission.Dan ini, seperti pemaknaan Camus. Kalau kamu ga ijinkan diri kamu tersakiti berarti mereka emang ga menyakiti, atau ketika kamu tidak memaknai perbuatan mereka sebagai tindakan buruk, ya berarti diri kamu tak usah reaksi.
Bab Pembersihan Jiwa, mengulas Zen sebagai keturunan bodhidharma ke 28 yang sangat sensitif hatinya. Karena sebagai pangeran, ia hidup di kerajaan yang selalu aman. Tak pernah melihat orang tua renta, sakit, dll. Jadi ketika dia menyelinap di dunia luar, dia begitu kaget.
Dalam zen, diulas bagaimana jiwa begitu tenang, bersih, dan melihat segala sesuatu tak usah ruwet karena akan merepotkan. Ada kalimat yang aku suka, Yang paling menyakitimu bukanlah orang yang berubah, tapi diri kitalah yang tak bisa menerima dan memahami perubahan.
Bab terakhir, yakni Jalan petarung. Bab ini asik juga soalnya mengulas samurai. Yang sebelumnya, [yang baru aku tahu] harakiri adalah konsep bunuh diri karena tak bisa mengemban tugas, ternyata itu adalah jalan untuk “samsara”. Jadi,mending mereka mati dan bereinkarnasi kembali untuk menebus kesalahan dan mengulangi kehidupan agar bisa melakukan kembali, dibanding menahan malu karena tak bisa mengemban tugas.
Bab penutup ini sangat pas untuk menutup bacaanku kali ini agar mental lebih kuat dan bagaimana melihat seorang dengan jalan tanggung jawab yang begitu kuat.
Life is not about finding, but creating!
0 Komentar