Semikolon

Seperti hari menyenangkan biasa, aku mendengar rintih lirih yang sayup sayup turun dari langit. Pada langit biru berawan, suara itu perlahan terdengar, lalu turun dan menembus dadaku. Ia bersemayam, bertahun-tahun, selama hidup, sampai kini. 



Awalnya suara itu tenang. Hanya membuncah ketika aku bermain kelereng, petak umpet, mendapat rangking satu, atau bertemu ayah pulang dari kota sebulan sekali. Mungkin, ia tergelitik dengan emosi bahagia. Namun, aku mulai menyadari bahwa suara yang menembus dada dan bersemayam ini, lama kelamaan berulah tidak beraturan sejak usiaku 7 tahun. 


Suara itu seakan ular kecil yang menggeliat dan kaku menahan sesuatu yang berat dan besar untuk seorang bocah kecil. Ular itu menjadi hal yang permanen, yang bisa membesar, kaku, dan mengisi semua ruang dalam dadaku. Semakin menjadi, dan menyebalkan ketika kepergian 2 orang tuaku  setelah aku mengaji sore. 


Tapi gadis kecil berambut kepang dua yang hobi membaca dan belajar ini tetap menjalani kehidupan sekolahnya seperti biasa. Dalam kepergian orang tuaku, aku belajar menerima bahwa kadang kita memang harus berjarak dengan yang kita sayang untuk tahu bahwa rasa itu ada. 


Tanpa sadar, ular kecil dalam dada ini mulai menggeliat. Makin memberi pertanda rasa sakit. Meski dalam bertahun tahun sudah terbiasa menahan rasa sakit karena kepergian, atau karena rasa rindu yang tidak bisa diungkapkan. 


Aku kira, ular itu sudah perlahan menciut dan mati karena aku sudah puluhan tahun bertahan dan belajar bahwa hal dunia ini memang bukan milikku. Bahwa yang disekitarku akan  pergi begitu saja. Lalu, agar ular ini tidak kaget atau menembus dada dan meluncur naik kelangit lagi, aku mulai berlatih. Karena aku takut, jika sesuatu yang sudah lama bersemayam di dada lalu kembali  ke langit, akan mengambil kewarasanku juga. 


Sepertinya, aku berhasil kecuali pada saat aku kehilangan guru matematika pertamaku. Yang menggantikan peran bapak, ketika wujud asli bapak dan ibuku tidak bersamaku. Kehilangan alias  kematiannya menjadi satu momen penting ular dalam dadaku mulai berulah kembali. Dengan kenyataan bahwa aku tidak bisa melihat jasadnya sebelum dikuburkan, aku berusaha menjaga ular dalam kendali. Meski dalam 100 hari, ular itu menggeliat, membuat dadaku sakit keterlalu tak tertahan hingga menangis sejadinya.


Setelah banyak hal di dunia yang ternyata tidak begitu indah, seperti air mata ibu, kata kata perceraian, munculnya konsep manusia gagal, cacian kasar dan kotor yang mampir, penghakiman seorang ayah, opini menyakitkan seorang ibu, dikhianati oleh seorang sahabat baik, aku selalu bisa menyebutkan semua momen menyakitkan itu tanpa lupa sekalipun. Bahkan momen lebih menyakitkan yang tidak bisa kutulis di sini.


Sedangkan kebahagiaan kecil yang selalu aku abadikan di dalam media sosialku, seperti warna indah langit bandung, puncak gunung yang ku daki, perjalanan dan tawa dengan sahabat saat hiking, atau kebersamaan dengan keluarga, kebahagiaan itu luntur. 

Aku tidak pandai mengulang, mengenang, atau menyebutkan hal hal bahagia yang seharusnya terjadi lebih banyak daripada hal buruk. Oleh karena itu, dalam setiap dokumentasi, aku ingin menunjukkan pada diriku sendiri bahwa banyak momen indah yang membahagiakan dibandingkan rasa sakit karena ditinggalkan atau pengkhianatan.


Tahun berlalu, 2005 saat suara bersemayam di dada atau  2016 saat kematiannnya. Kabar buruknya, ular itu semakin diluar kendali. Seakan mendesak keluar dengan kekuatan dahsyat sehingga nafas lebih sulit seperti biasanya. Seperti tertinggal, mengejar kereta saat jam berangkat kerja. Dan dalam situasi ini, yang awalnya suara bersemayam hanya di dada, kini suara itu bertambah dan bersemayam di pikiranku. 


Apakah kamu percaya bahwa pikiranku berkata pada diriku sendiri? Mereka memberikan pilihan-pilihan dan pemikiran yang baru dan begitu asing. Kadang pikiran pikiran itu merayu rayu untuk bertindak dan melakukan hal-hal menggelitik. 


Hanya saja, suara itu masih begitu lirih, pelan, dan lemah. Tidak sehebat-sesak yang diberikan ular yang bersemayam dalam dada. Jadi, suara itu hanya bisa kubayangkan saja. Seperti suara untuk menusukan pisau ke dada. Untuk membunuh ular yang semakin tidak karuan.


Rasa tidak enak, muntah, dan pusing karena ular dalam dada ini bisa dihilangkan dengan menusukan pisau. Karena jika ular ini mati, aku menjadi bebas. Begitu kata suara dalam pikiranku.


Namun aku hanya menjawab, bagaimana jika aku perlu mempersiapkan kematianku? Karena mati dengan tidak siap dan mendadak, akan merepotkan orang di sekitar.


Bagaimana tumpukan buku yang belum aku baca? Bukankah memindahkan 2 box besar buku butuh banyak tenaga? Bayangkan jika seorang menemukanku terlelap dan kembali ke langit bersama ular itu, tapi kamarku berantakan? Lalu, musik terakhir apa yang akan aku dengarkan ? Apakah Greenday last night on earth untuk mewakili suasana terakhir di bumi? 


Lalu, aku belum berterimakasih pada manusia yang hatinya seluas danau Walden. Kepada ia yang membuatku selalu jatuh hati kembali. Yang tidak akan pernah aku ungkapkan rasa peduliku dari semenjak aku kenal. Yang jangan sampai ia sadar bahwa setiap aku bertemu, berdialog, dan tertawa itu tandanya aku jatuh hati berulang. Yang aku doakan kebahagiaannya dengan siapapun pilihannya


Aku juga perlu menggandeng kedua adikku seperti dulu. Saat pagi hari menuju ke sekolah, atau menuju sawah tempat kita bertiga main layangan. Atau saat harus menarik 2 anak nakal itu untuk kembali pulang kerumah karena waktunya tidur siang. 


Atau berterima kasih pada diriku sendiri karena sudah hidup. Menikmati ketenangan dan menghindarkan diri dari kesepian. Dengan membaca buku, bekerja, memasak makanan kesukaan di dapur, bertemu dengan teman di kafe dengan segelas v6 bali kintamani andalan, kemping di rumput hijau yang luas, naik gunung,  menulis, menonton drama fantasi, menonton ulang Ponyo atau spirited away, menonton ulang Initial D atau baca webtoon komedi. Belum lagi, langganan spotify premium agar lagu kesukaanku tidak terganggu iklan. melihat lirik lagu dan membagikan ke media sosial sebagai curhat colongan. Bukankah ada beribu hal yang harus aku siapkan dulu.


Aku tidak siap mengeluarkan ular ini, dan melepasnya ke langit bersama denganku; tapi aku juga tidak bisa membiarkan ular ini bersemayam dalam dada; aku sudah tidak ada tenaga untuk membuat ular ini kembali menjadi suara yang lirih, perlahan dan tenang; Meski langit sedang biru-birunya, aku tidak akan mengantarkan ular ini ke langit dan pergi menghilang bersamanya...


 


Posting Komentar

0 Komentar