“MENULIS adalah fitrah sepertinya, mau kau minggat sampai mana, kalaupun perkara menulis ya tetap saja harus. Bahkan malaikat pun menulis catatan di bahu kanan dan kirimu kan. Kau yakin tidak ingin lanjutkan bagaimana engkau hidup dengan pena yang sengaja kau simpan dalam saku jaketmu. Aku tahu kau,” ucap suara kering yang wujudnya tak kalah kumal dengan bocah berpena di sampingnya.
“Diam, aku tidak suka kau narasikan itu seakan kau adalah orang yang paling tahu kehidupanku. Dan satu, kau itu manusia bebas yang tidak percaya Tuhan, jadi tak usah sebut malaikat pencatat. Lebih baik malaikat catat saja bagaimana si Bruman melaku pada manusia.”
“Hah, aku hanya bilang saja kan, meski aku tidak tahu Tuhan, Tuhan sudah biasa disebut oleh anak sepermainan. Lagian, dulu Ayahku juga pernah menghamba pada Tuhan. Ia minta untuk baliknya Ibuku tapi tidak juga kunjung. Lalu akhirnya ia pergi cari sendiri, dan ya, meski masih ada di gantung di dinding kamar,”
“Tuhannya?,”
“Foto istrinya.”
“Emak mu itu!”
“Iya dulu,”
Mereka berdua menjadi sosok yang biasa saja jika dibandingkan dengan remaja seumuran mereka, terlihat normal hanya lebih kumal. Tinggal dalam sebuah desa yang sangat gampang gempa dengan sebuah berita. Perkara Bruman si Preman menjadi kabar paling empuk seperti martabak manis keliling yang dijual tiap malam oleh Wa Jurman. Julukan preman sudah seperti daki kulit yang sehari-hari menempel pada Bruman karena kerusuhan yang paling maha yang ia lakukan yang bukan lain adalah pembunuhan yang dibiarkan. Masih genap diingatan setiap manusia di kampung mengenai matinya juragan sembako oleh Bruman. Ia adalah satu-satunya orang yang ada di situ saat si Juragan Sembako mati seketika dihadapan mata. Tak ada darah atau apa. Sudah satu tahun ini Bruman menjadi sebuah obrolan. Sejak keluarnya ia dari penjara yang kabarnya adalah Bruman si Mafia Buronan Negara. Memang dengan penampilan dan pemikiran uniknya, warga desa pasti menyetujui kabar burung emprit itu.
Tak ada nyali satu desa, Bruman adalah preman yang tidak ada satupun orang mampu membunuhnya. Ada yang bilang ia memakai susuk dan tak ada peluru yang mampu menembus. Kabarnya, tato dibadannya akan bertambah ketika membunuh orang. Jangan lihat matanya, kalau saling tatap dan kalau kau mati berarti memang si Bruman inginkan itu. Kau bisa saja keesokan hari langsung mati kalau tatap matanya. Bahkan desa tetangga pun kena juga dengan kabar burung emprit yang heboh itu.
Anwar si Bujang Tua yang terkenal karena kesombongannya pun akhirnya meriang selama satu minggu dan akhirnya ia mati. Orang kampung percaya bahwa Anwar sengaja menatap mata Bruman dan menganggap bahwa ia adalah lelaki yang lebih jago dari Bruman. Anwar tidak percaya dengan hal gaib, yang ia percaya bahwa ia adalah orang paling kaya ketiga setelah juragan daging dan juragan sembako yang meninggal itu.
Dengan ketidakpercayaan itu, orang-orang percaya kalau ia kena kutukan mata Bruman. Badannya panas menggigil selama satu minggu. Makanan yang ia telan selalu dimuntahkan. Tiba-tiba ia lumpuh dan tulangnya sangat ngilu, dan ia pun memuntahkan darah. Pun mantri desa tak bisa meringankan kesakitannya. Dan ia mengharuskan Anwar untuk pergi saja ke kota.
Sedang Anwar adalah seorang diri. Seberapapun pentingnya kesehatan ia masih mementingkan hartanya sampai akhirnya ia mati di telan bumi. Kabarnya ia bertatapan dengan Bruman di jalan dekat empang tetangga saat gerimis yang basah dan lengket. Mata mereka saling menyala. Kata Agus seorang saksi kejadian itu dan mereka percaya itu sebab kematiannya.
Bocah lelaki itu tak ada muara untuk benar-benar tahu bagaimana perwujudan cinta yang dilakukan. Apakah ia harus lihat dulu Alkitabnya yang bahkan terbata-bata membacanya. Ataukah harus lihat Alkitab agama tetangga yang tulisannya bisa dibaca tanpa harus ada proses alih bahasa.
“Mungkin kau benar pena ini yang menyambung hidupku. Aku harus mandi dan aku lupa terakhir aku makan. Dan mungkin aku harus ke masjid“ ucapnya pada karib di sampingnya sambil bergegas melangkah pergi.
BANYAK gerombolan manusia yang melihat jazad seorang yang katanya tak mempan senapan. Padahal hanya manusia dengan perawakan kurus, buncit, dan kumal yang biasanya pun tanpa anarki. Yang selalu menggaris merah matanya, kuning giginya, kini bisu dalam sebuah pelataran musala yang tidak terurus, barang tiga atau empat jamaah isinya. Tergeletak ia dengan luka sobek dilehernya. Persis seperti peluru yang memburu namun bedanya peluru ini bukan peluru yang ditembakan. Sepertinya jenis peluru yang harus ditusuk kemudian dirobek dengan paksa pad aurat itu agar ia mati dengan perlahan.
Akhirnya, bocah kumal yang bersaut kata dengan karibnya tadi, mampir sebentar ke rumah yang dulu sering ia jadikan untuk mandi, masak, tidur, bahkan belajar Alkitabnya. Segala aspek rumahnya masih akrab, hanya debu dan piring kotor yang sudah menjamur di atas meja yang dulunya tempat terhangat saat makan malam tentunya. Masih tidak begitu asing karena ia pun baru 28 hari untuk menumpang tidur sana sini. Dari tempat kenalan, teman, desa tetangga, kecuali mushola. Ada rasa canggung untuk memasuki tempat yang bergaris batas suci. Karena ia pun meragukan keadaan diri apakah ia mampu untuk melewati batas itu. Pun akhirnya ia memilih untuk bermalam di rumah karibnya, Epang.
Epang adalah karib paling romantis yang selalu berkabar bahkan memberi makan. Bahkan obrolan yang mereka lakukan sangat asik untuk dijadikan novel sekelas Norwegian Wood dalam karya Murakami, tentunya dengan versi kearifan lokal. Dengan bar diganti angkringan atau martini diganti dengan Nutri Sari.
Sambil membersihkan tangan dari kotoran seperti kecap melekat, ia kembali dimasa ia berada di rumah itu. Meski hanya kamar tengah dan ruang tamu yang ada pijar lampu, cukup membuat rumah itu nyaman seperti kala lalu. Ingat sekali pena yang ada di sakunya sengaja ia simpan karena katanya pena itu lebih mahal dari uang jajan satu bulannya. Dan sejak setahun lalu pena itu ia simpan dan hanya sekali dua kali untuk menulis meski tinta tak sepenuhnya keluar. Pena yang katanya buat menulis kaligrafi atau ijazah untuk tamatan sekolah dasar.
Ia sudah rapi, ia memakai baju putih yang orang sebut baju koko, hanya saja tidak pakai sarung karena sarungnya sudah terlalu kecil untuk ukuran badannya. Mungkin terakhir ke masjid ketika ia baru tamat SD karena ia harus ikut sunat masal di musala sekitar rumahnya. Dan sekarang, sarung itu hanya mampu menutupi setengah kakinya. Akhirnya ia ganti dengan celana bahan hitam. Rambutnya disisir klimis belah samping kanan. Ia nyaris tidak seperti biasanya, bersih, rapi, dan wangi. Menurutnya ini adalah saat yang tepat untuk penyambutan tamu dirumahnya yang sudah sekian lama rumahnya seperti peninggalan zaman belanda. Sepi, kosong, dan tak bertuan. Dan kini ia jadi tuan satu-satunya.
Penanya masih ia selipkan di saku putihnya. Pun sejujurnya pena itu bukan satu satunya yang ia punya, namun ada keharusan bahwa pena nya menjadi bagian dari identitasnya.
Kerumunan warga sudah menunggu di depan rumahnya. Pun ada beberapa yang langsung bersalaman dan membantu menyiapkan kursi untuk penjamuan tamu yang akan datang. Pun makanan ringan serta air mineral gelas sudah disiapkan. Lalu Epang, teman paling romantis pun sudah membawa sobekan kain putih yang akan dijadikan bendera yang akan dipasang di depan rumahnya. Dulu rumahnya sangat hangat meski hanya ada tiga manusia yakni Ayah , Emak, dan dirinya. Kini rumah itu berganti statusnya menjadi rumah duka yang kedua kalinya.
Kedatangan jazad yang ada di musala tadi pun membuat kerumunan menjadi bisu tertahan, seakan sedang megawasi mangsa yang datang perlahan. Sekejap semuanya berhenti dari obrolannya, hanya berlangsung berapa detik, obrolan para ibu-ibu dengan suara khas bisikannya pun kembali di dengungkan.
Bocah itu dihampiri karib setianya, panggilan Epang memang cocok untuk karibnya itu. Tidak ada alasan, cukup cocok saja. Karibnya menanyakan apakah pena itu sudah ia bersihkan dan diisi dengan tinta yang sempurna. Ia hanya mengangguk dan memberikan segaris senyum pertanda sudah paripurna. Lalu ia mengambil kayu dan menuliskan dengan pena yang selalu ia bawa. Ia torehkan tulisan di atas papan kayu dengan ejaan Burhanudin 3 Agustus 1963- 14 Juli 2015 dan membanjir air matanya.
KABAR kematian Bruman pun menyelimuti desa bahkan desa tetangga karena banyaknya peziarah yang datang dari luar kota. Bahkan ditambah mobil dengan plat abjad berbeda. Setelah perayan 30 harian Bruman, kabar melayang dengan cepat. Pun mengenai matinya si Bujang Tua ada yang bilang bahwa ada yang mengguna-guna. Tapi ada juga yang bilang bahwa ia terkena meningitis bukan karena matanya saling mengikat dengan Bruman.
Pun kabar sebenarnya ia dipenjara bukan pembunuhan katanya, entahlah itupun ternyata hanya salah tangkap karena ia berada di tempat kejadian perkara dan apalagi kebisuan Bruman yang dimulai sepeninggalan istrinya di tahun 2013 membuat ia tidak peduli bahkan dengan anak satu-satunya.
Lalu kematian si Juragan Sembako yang tanpa darah atau bekas lukapun akhirnya dijelaskan bahwa ia menahan kentut. Saking sopannya ketika Bruman bertemu dengannya, kentutnya ia tahan dan akhirnya ia mati. Ya ditambah juga ia tidak sesehat terlihat, bahkan ia mempunyai penyakit jantung. Jadi mungkin kentutnya itu ia tahan sampai akhirnya naik ke jantung dan jantungnya tidak kuat dan menyerah untuk berdetak. Bisa juga, karena saking bau dan tekanannya.
Kabar itu mengahalau penjuru desa, bahkan ditambah kabar bahwa Bruman sejatinya hanya seniman gila karena ditinggal mati istrinya. Dan sekarang pun orang-orang segan untuk sekadar bertanya pada Patah, bocah yang baru kehilangan satunya-satunya sisa keluarga, Bapaknya. Dan waktu istrinya mati medadak itu, Bruman ternyata hilang waras dan mencari-cari istrinya sampai kadipaten sebelah. Agus menjelaskan kabar itu pada orang-orang yang sedang menikmati sore mereka dilapangan voli dekat sebuah musala.
PATAH, bocah pemilik pena, akan selalu membawa pena dan membuatnya menjadi sebuah imaji dunia. Menuliskan narasi hidup lelaki yang ia cinta pada sebuah buku nantinya. mengenai ia lelaki penikmat distorsi yang mengantarkan dirinya ditelan bumi. Ia ingat tiap kali surat tangan yang ditulis Bapaknya itu selalu mampir sebulan sekali dalam asrama sekolah yang ia tinggali. Meski mendadak setahun belakangan surat terakhir hanya berisi sapaan dan basi basa serta pena yang sekarang ada padanya. Lalu surat tangan itu berhenti menjelang kelulusannya.
Dalam setiap suratnya selalu berbincang bab yang berbeda. Dari mulai kelahirannya, bagaimana menikmati dunia dalam pikiran sendiri, kematian mendadak istrinya, bagaimana ia mendadak di penjara, bagaimana ia menjadi bisu, bercanda tentang masa mudanya, mengajarkan Patah untuk menulis, buku yang ia baca, ia kenalkan salinger, murakami bahkan sampai tolstoy, dan terakhir adalah titipan pena yang ia pakai sekarang dalam sakunya.
Satu yang membuat ia masih tidak terima bahwa ternyata perwujudan cinta manusia punya cara yang berbeda. Meski kepergian adalah kekecewaan yang ditahan tidak barang sebentar, dan persetan dengan drama yang dilaku para figuran selain ia dan Bapaknya. Yang anehnya, para pembuat distorsi pun menampikkan kisah siapa pembunuh Bruman dibandingkan dengan siapa Bruman.
Pun ada yang percaya bahwa ada orang yang dendan dengan si Bruman itu. Lagi-lagi, Agus, pengangguran paripurna di kampung itu menambahkan bahwa matinya si Bruman tidak perlu dipertanyakan siapa, karena mendiang istrinya pun sama, mati dengan mendadak seperti itu. Lalu manusia di sekitar agus diam, dan hanya saling menatap satu sama lain, lalu pergi ke kandang masing-masing.
“Iya, memang pena ini penyambung hidupku. Aku memilih perwujudan cintaku bukan dengan penikmat distorsi tapi akan kusambungkan orasi bisu lelaki yang ku cinta itu pada sebuah naskah yang tidak akan koyak di tinggal zaman. Karena dengan itu ia, si Bruman, akan abadi dalam sebuah tulisan”.
*cerpen ini diikutsertakan dalam kompetisi menulis BakBuk_id dan dipublikasikan dalam sebuah antologi cerpen berjudul Cinta Itu Apaan part 2
0 Komentar