Makna

sumber gambar: https://gunselisepici.com/daydreamer
Andai aku mengiyakan pertanyaanmu. Apakah sekarang ini aku akan baik-baik saja? Akan lebih jelas jalanku dengan siapa. Merapal mantra untuk masa depan kita. Memikirkan berapa petak yang akan menjadi tempat kita. Dimana letak lemari buku nanti. Dimana letak foto kita nanti. Dimana letak gitarku nanti. Dimana letak ruang sholat nanti. Dan bersama untuk belajar untuk membedakan mana yang haqdan yang batil. Yang sebaiknya atau seharusnya. Lalu kita ngobrol menu makan kita hari ini. Apakah akan seperti itu? Apakah nanti engkau akan nyatakan apa yang pernah kau tawarkan? Apakah nanti kau tetap bilang bahwa aku adalah orang yang paling kau sayang? Apakah seperti itu andai aku mengiyakanmu? Bukankah tawaran itu terlalu lengkap dan istimewa? Namun nyatanya kita tidak akan diskusi dimana letak lemari nanti atau berapa sendok nasi yang akan kita santap hari ini.
Kamu tahu kenapa kita tidak akan diskusikan ini dimasa depan? Karena kamu tak mengerti makna. Kamu tidak tahu seberapa peluh dan kerasnya menjaganya seorang wanita. Kamu tidak tahu bahwa semua hal yang pertama bagiku akan aku suguhkan sebagai mahar. Kamu tidak tahu meski dengan laku dan lisanku, aku lebih mendamba surga daripada dunia yang kau tawarkan. Kamupun tak tahu sampai kamu berdalil bahwa sebuah pengertian harus selalu disambung sebuah obrolan. Sedang kamu tidak tahu bahwa hal yang biasa dan remeh itu adalah hal yang paling bermakna dalam sebuah dosa. Kamu tidak akan tahu,  jalan masing-masing itulah makna kita.
Kamu tidak perlu berlomba untuk mencukupiku nanti. Aku tidak menggantungkan masa depanku dengan materi, apalagi mengenai jabatan tinggi. Karena kau tak tahu surga tak membutuhkan semua itu. Aku lebih perduli bahwa kau tahu bagaimana prinsipku. Bagaimana maknaku melihat sebuah silaturahmi. Karena kau akan tahu betapa aku lebih konservatif daripada kelihatannya. Bahwa aku akan lebih takut kalau tidak ada pintu surga yang terbuka. Kamu tidak tahu kalau semua hal yang abstrak itu bermakna.
Aku sudah tahu konsekuensi dari sebuah pembatasan atau bahkan penolakan. Itu bukan hal pertama sehingga aku sudah lebih terbiasa. Aku tahu bahwa selama ini layaknya di penjara. Dan itu lebih baik dari segala. Karena seorang Yusufpun  menerima konsekuensi itu. Ia lebih memilih penjara daripada ia bisa bebas di dunia. Akupun percaya untuk mampu dalam hal itu.
Namun meski dalam penjara aku masih mengawang. Aku belum sekuat Yusuf. Aku tahu sepi sudah menjadi konsekuensi ketika kita tidak bisa menggantungkan harap pada sebuah hamba. Hingga semua itu menjadikanku cengeng dan terbiasa mengoyak amarah karena ekspektasi-ekspektasi langka perempuan yang sedang dirundung sepi. Bukan sebuah kodrat jika wanita itu harus merundung bukan? Sedang kisahmu tak pernah diwartakan, sedang aku juga dipenjarakan. Lalu aku tak tahu harus cari di koran mana, di kolom mana. Apalagi kau yang terbiasa bertemu dengan manusia-manusia. Dalam perjalananmu kau bertemu, bertemu ia yang tertarik padamu, atau kau yang tertawan padanya, ia yang hanya singgah sementara, atau memang ia yang sedang dalam hidupmu. Untuk yang terakhir aku berharap tak ada kalimat itu. Bagaimana bisa aku membuatmu menjadi seorang tawanan ketika kita tak pernah bersambut, tak ada orasi, tak ada kata sambung apapun yang bisa menyebut aku dan kau bisa menjadi kita. Dalam penjara aku masih mengawang. Mengawang apakah aku salah dalam pengandaian.
Bagaimana jika yang andai di atas ternyata lebih baik dari penjara sebagai sebuah konsekuensi? Karena aku juga tahu bahwa aku bukan seorang Yusuf yang mampu untuk menahan sepi. Namun, tetap, aku harap semua yang sudah ku laku akan lebih bermakna nanti.

Posting Komentar

0 Komentar