Dalam Dua


Dua bulan lagi (malah kurang) umurnya hampir seperempat abad. Sedang Dua tahun lalu, ada keberpihakan hatinya pada seorang yang sampai sekarang menjadi tuan di hatinya. Lalu, dua minggu lagi bagaimana kelanjutannya? Yang dua tahun lalu itu hanya dialog mampir yang tak perlu di bukukan. Mampir sebentar lalu hilang, memang begitu seharusnya (mungkin). Sedang tuan hatinya yang dua tahun lalu, pada manusia fana itu, mungkin kepura-puraanya menyikapi sebuah sepi. Jadi maklumlah, bukan hal serius. Semua hanya di pikirannya, cintanya hanya delusi saja, intinya yang dua tahun lalu tidak nyata. Meski fana lama juga sampai bertahun begitu. Padahal, pada 2 tahun lalu juga ia mendambakan banyak rencana. Seperti sendiri sampai waktu yang tak terbatas,  mengunjungi negeri-negeri di Asia Timur, melangkah ke danau atau gunung belakang di setiap ranah di Indonesia. Namun yang paling utama dari hal-hal yang asik itu, seharusnya ia sudah pergi dari area kampusnya setidaknya 2 tahun lalu. Malah baru 2 minggu lagi ia baru bisa meninggalkan area kampusnya. Memang kampusnya semenakjubkan apa sampai dia susah beranjak begitu? Nanti aku ceritakan kisah-kisah di kampusnya .
Dari dua tahun lalu menuju 2 minggu yang akan datang, akhirnya ia sadar saja. Ia sudah percaya saja kalau memang sesuatu harus hilang, maka hilang. Tapi mau sengotot apapun kalau memang hal itu harus ada disekitar, tak bisa ia buang dengan serta-merta. Mau sekuat apa keinginannya melihat surga, kadang ia juga tahu diri bagaimana keimanannya, atau kesiapannya.
Aku tahu kalau sebenarnya yang di dua tahun lalu itu, ia berharap ada di 2 minggunya.  Karena bisa saja keberadaannya mengubah takdirnya di dua bulan yang akan datang. Di dua bulan yang akan datang adalah hari besarnya. Selain Idul Fitri dan Idul Adha, hari besar seorang wanita bukan lain adalah hari pernikahannya kan? Iya, yang dipikirannya, mungkin saja kalau yang di dua tahun itu hadir di dua minggunya, maka akan hadir juga di dua bulan berikutnya sebagai tokoh utama. Begitu Harapannya.
Yang aku khawatirkan, bagaimana ia menjemput dua bulannya sedang di otaknya masih ada yang di dua tahun itu. Seberapa keras usahanya kalau ikhlas itu adalah suatu hal yang langka? Bagaimana ia hidup dalam bertahun itu hanya untuk tahu bahwa butu banyak tenaga untuk kecewa?Dari dua tahun lalu, 2 minggu yang akan datang, atau bahkan 2 bulan mendatang, ia tahu bahwa waktu bermain dengan sempurna. Begitu ahli mengacak manusia yang mampir lalu hilang, yang selalu ada tapi juga akhirnya hilang, atau yang mendadak mampir membawa keseriusannya untuk membeli waktunya di masa depan.  
Dari waktu waktu itu, ia lebih tau, kalau ternyata tua memang bukan pilihan. Semakin tua semakin banyak obrolan dari orang tuanya, bahkan dari tetangga dan sanak saudara yang menanyakan keadaanya? Misalnya seperti berapa angka di slip gajinya atau kapan akan mencetak kartu keluarganya?
Tapi yang tak dipungkiri, bagaimana dia mengatur kondisi kejiwaanya ketika ia harus menerima keseriusan manusia sedang ia adalah manusia yang susah serius? Atau bagaimana ia membalas cinta sedangkan cintanya masih terbawa dan belum dikembalikan kepadanya? Atau bagaimana ia memutuskan dengan logis mengenai masa depannya sedang otaknya ia lupa ditaruh mana? Ya, bagaimana ia harus memerima manusia yang sekejap datang namun akan berlaku  untuk selamanya?
Aku maklum kalau ia meraung dan menangis sejadinya. Aku sangat tahu bahwa ia memang ringkih dan penakut parah. Apalagi kalau ia jalan malam dan gelap. Katanya, saat gelap dan lelah, ia melihat ilusi wajah yang muncul disekitar perjalannya. Begitu. Lalu untuk melangkah dengan orang yang baru muncul yang nantinya membawa ia berjalan dalam gelap, bagaimana ia akan bersikap? Untuk melangkah dengan orang yang ia kenal saja ia butih waktu lama.
Aku tahu apa yang sedang diotaknya. Kau ingin tahu? Dia sedang menuliskan rencananya di buku catatan kesukaanya yang bergambar kucing untuk dua bulan kedepan. Dia akan keluar dari ranahnya, atau kalau bisa melangkah pergi tanpa ada jejak, persetan dengan dua bulan yang akan datang, dia pasti akan melangkah kemanapun yang ia hendaki, agar yang dua bulan itu tidak terjadi. Misal, ia akan pamit izin melakukan perjalanan, lalu dia tudak pulang-pulang. Nanti juga orang-orang di sekitarnya akan memaklumi apa yg ia laku meski butuh 10 tahun misalnya.
Lagian, aku juga setuju, kalo urusan hati dia itu yang punya hak atas segala. Lagian kalau urusan surga neraka hanya ditentukan dengan pernikahan, kasihan juga Tan Malaka atau Bung Hatta, begitu pikirnya. Padahal kalau ia bisa terima dan sabar ia akan bahagia dalam dua bulan berikutnya kan? Mungkin karena otaknya lupa ditaruh mana, sedang hatinya juga belum dikembalikan, jadi aku tahu kenapa dia tak baik baik saja. Apalagi dua minggu lagi dia dalam batas umur yang akan menentukan apapun.
Kalau aku, wajar saja, mau sebagimana tenangnya dia menyikapi semua hal, atau santai, atau apapun itu sebutannya, kalau dalam sekejap dia harus terima “alien” yang harus menemani kemanapun ia pergi, ia makan, ia belanja, atau bahkan tidur di bantal sampingnya, aku yakin kondisi jiwanya tak sekuat itu.

Posting Komentar

0 Komentar