astaga, sejak semula, ini semua bukan khayalan yang hanya menetap dalam benak.
apa peduliku! meski terkapar gemetar dan duniaku terguncang, mataku akan tetap nyala, nyaliku akan tetap utuh, untuk penipu angkuh yang memekikkan khotbahnya yang mengusung tuhan sang penguasa.penipu angkuh maha pemberi investasi, apa yang engkau dapat dengan mayat-mayat ini? jika kami dianggap sebuah kebodohan, itu sangat baik daripada menyakiti anak cucu kami nanti.
oh! apakah ini diluar kekuatan tuhan? aku tahu mereka hendak menghabisiku. apa mereka ingin membunuhku karena banyak bicara? meskipun semua ada benarnya?
aku memaksakan diri, untuk menjaga waras meski bagaimana kabar istri sekilas melintasi benak. khotbahnya: percayakan masa depan dengan banyak lapangan pekerjaan, untuk kesejahteraan semua rakyat di negara tercinta dan katanya agraria, dan menghormati hak manusia. sedang mulutku disebut nyanyian sumbang, suaraku ditenggelamkan.
sebelumnya kau janjikan akses modernitas, jalan tak perlu lagi karena sepeda sudah bisa kita miliki. sepeda terlalu lama katanya, karena kau butuh waktu untuk jual gabah kering secepatnya.
lalu, ada motor dengan harga beras satu ton. sayangnya, bayar pakai beras atau gabah tak bisa. tapi bisa cicil sampai panen tahun ketiga nantinya. biar semua gampang: bangun jalan dan pabrik untuk kemaslahatan. sayang, para janda tak bisa daftar pekerjaan, sawah dilibas aspal, bangunan baru untuk kemaslahatan, air makin berkurang. lalu, inikah yang disebut dibodohi? mata air datang dengan sopan, malu malu langkahnya ditundukan. sawah-kebun tak berair lagi.
tanah kering, mata air meresap menjadi air mata para janda, dan pada rakyat kecil yang terlalu jauh dari kota yang sawahnya menjadi megah berubah sebagai bandara. sudahi hidup saja, Tuhan. Suara kami bukan tangisan! orang unggul sebut kami manja, tak mau mencari kerja di kota, katanya.
engkau yang membunuh tuhan pada duniaku, maka biarkan aku pergi untuk menentramkan jiwa ini. setidaknya aku menjadi musafir untuk mencari kehendak yang lebih tinggi. jika kau masih menjunjung ketuhanan, kau akan lepaskan gandenganmu yang hanya menjunjung tinggi tuhan bukan kemanusiaan. maka biarkan aku pergi, membawa Tuhan yang telah mati.
aku akan sembuh meski dengan jiwa yang murka ini.
aku hendak lari dari sini, maka jangan sekali kali kau buat aku menjadi manusia tak bertuhan sebab kaulah yang buat ketuhanan mati.
pada duniaku, sebelum aku bertemu dengan kau yang menjadi sosok nabi, tuhan selalu memanjangkan tangan lewat orang terkasih.lewat bahagia dari suara gendang, melalui sungai sungai kecil yang mengalir persawahan, melalui panen padi yang membuat bahagia orang, dan rejeki untuk beli televisi buat menonton wayang. lalu, meski kemarau tandus, kami tetap bergembira dengan perayaan kecil sepak bola di tanah sawah milik kepala desa.
indah janji, sampai tak mampu kedip mata kami. dengan traktor, bajak, dan pabrik megah yang membuat anak muda bahagia karena seragamnya. tapi, apakah ketidaktahuan harus dimaklumi? ketika kami tak pernah berpikir manusia unggul juga mampu bertindak anarki. mula-mula melahap tanah meski dengan izin tetua, mencemari sungai, mematikan ikan betik kebanggaan bocah kali, dan kemudian menjadikan kemarau laris bertahun ini. kini, bahkan, kau membuat tuhan mati di antara kami. kami cerai berai dengan tetangga kami.
apa salahnya dengan jarik dan kebaya di masa tua. kau anggap ini lambang durhaka pada sang pencipta? Tuhan, maka hamba hanya ingin lari, hamba tak kuat hidup di bumi yang di renggut para “nabi” dan manusia yang sudah tidak ada rasa percaya. tua menjadi ambang tak berdaya, bukan lambang kebodohan yang harus dibumi hanguskan. apalah arti kecerdasan jika semua hanya untuk membuat si tua ini bungkam.
nak, kalau pusing, tinggalkan tuhan. jalan saja jauh dari pijakan. jadi kehendakmu sendiri, jadi tuhanmu sendiri. lalu liat apa yang bakal terjadi? kau akan mencium bau pemberkatan panjang. sebagai orang paling penyangkal, malah menjadi orang paling beriman yang tidak bertuhan. daripada aku, yang menjadi seorang tua yang mendekam di penjara dunia, karena ketidaktahuan, karena ketidakberdayaan, menentang manusia yang menjunjung terlalu tinggi tuhan.padahal ,bertuhan bukan berarti harus patuh pada manusia yang menuhankan.
oh tuhanku yang telah mati, tapi aku yakin kehendakmu masih tinggi. aku memohon, kendati tanpa upacara sakral yang biasanya kulakukan tiap hari. dunia dan segala isinya siapa yang tak mau menerima nya? aku juga mau, buat anak cucuku. tapi bagaimana menumbuhkan bibit di atas aspal, bagaimana membuat sumur di atas bangunan?
Tuhan,
aku sudah lelah dihantam perasaan yang sudah lama ku kenal. perasaan tertindas, diabaikan, dan dituanhambakan. apalah arti siksaan? asal para bocah nanti bisa tetap main layangan. Bisa mancing di sungai, para orang tua ke ladang, dan yang bekerja kembali makan sayur, singkong, nasi, dan buah hasil panen sendiri.
apakah aku dicambuk dengan kebenaran?aku dicambuk kekuasaan.
jika benar nantinya: anak cucu akan hidup dalam dunia mengerikan. orang orang berlalu lalang tapa senyuman, semua sibuk melihat jam tangan, dan layang layang tak ada yang diterbangkan.
apakah tuhan di bagian sana mendengar?
anak muda berkaos hitam di tengah panas aspal dan bangunan, ia mengenalkan diri sebagai yatim dan datang padaku. ia meneruskan jalan hidupku. air mataku bergulir, meluap seakan mata air yang selalu diperjuangkan untuk sawah dan ladang-ladang. menjadi gerimis yang bergulir dalam kulit muka kering keriput, yang tak pernah berkaca lagi. sebab lebam, sebab hantaman, entah bagaimana sudah bentuk tulang.
ragaku yang renta takan bisa lagi sujud walau pada alam sang pencipta. tapi jiwaku mengerang mohon atas semua ketidakberdayaan, keputusasaan, dan kehilangan kawan-kawan. aku, dia, kawan, adalah kami yang ditusuk dingin tanah telanjang pada petak jeruji besi gelap. terasingkan, lalu dibuang pada pulau, dan tak bisa kembali ke kampung halaman.
sahabatku, seorang yatim dan menjadi piatu tadi datang padaku. ayahnya tak tahu dimana sejak ia lahir di dunia. dalam ketidaktahuan, ia merasakan dengan indera yang lemah namun tekad kuat ia kayuh jalan hidupnya, terjal terperosok, pada panas jalan aspal usang
kembalinya padaku, ia baru tahu, ibunya mati karena kesakitan hati, ayahnya mati karena ditembak mati. apakah bapaknya serdadu? tanyanya.
andai aku bisa mendekam dalam ketidaktahuan. namun anak muda tadi lebih pintar tanpa harus aku narasikan. saat ini, aku menggigil, aku bertemu tuhan yang waktu itu telah mati. namun Ia kembali membawa tuhan dengan teguh hati.
bagaimana agar air mengalir, dan sawah panen, tanyanya. apakah ia percaya, kalau aku katakan syaratnya: dengan darah para cukong yang culas, yang menjadi manusia sok unggul, dan ini kata dukun kampung paling masyhur.
ia bilang, layangan sudah tak lagi dijual, tak ada tempat untuk menerbangkan. pagi selalu mendung, dapur jarang mengepul, dan banyak cerobong asap yang katanya menghidupi orang banyak. setidaknya, semakin hari semakin lebih baik lagi. karena para janda mati menyusul suaminya pergi. yang mati karena penyakitnya, yang mati karena hilang entah kemana, mati karena keadaan yang memaksanya.
sambil menatap sore yang selalu mendung, aku bersyukur,
“kini damai para janda yang sudah tak pernah ku ingat wajahnya lagi, bertemu para suami mereka dan bercocok tanam lagi”
Aku mengambil kaca, melihat aku menua.
0 Komentar