Ada yang menuntut untuk dilahirkan kembali dengan harap apa yang ada dimasa lalu, kini, dan masa datang akan berubah keterlaluan indahnya. Ada yang menuntut untuk dimaklumi karena dia adalah hamba yang masuk pada kategori manusia “tidak ada yang sempurna”. Ada yang menuntut bahwa dia adalah objek matematika yang harus selalu dimengerti dan dipecahkan masalahnya. Sedang dipikirannya tak ada yang mau mengerti dirinya. Lalu siapa yang mampu menolong dalam dunianya jika ia tidak menyertakan Tuhan dalam tuntutannya?
Lalu dalam setiap kelam, kalian selalu menerawang kemungkinan yang akan terjadi. Namun setelah kalian terpejam dan bangkit dari rebah setiap malam, kalian hanya akan takut untuk melangkah. Lalu dalam setiap kelam kalian mengulanginya kembali, berpikir bahwa hari esok akan menjadi sejarah bahwa “aku” juga mampu untuk hidup layaknya manusia biasanya. Lalu pemilik tuntutan diatas siapa lagi kalau bukan seorang yang tiba-tiba menjadi seorang filsuf setiap malamnya. Pemiliknya, Karin sebutannya.
Karin, lambangkan saja ia manusia jenis Hawa yang tak akan sanggup menerima kasih. Dengan begitu kalian akan lebih sadar dan maklum bagaimana ia melaku. Bukan berarti dia mendramatisir kehidupannnya. Jika manusia sekarang sebut keterlaluan, bisa saja manusia sekarang itu terlalu culas hatinya dan terlalu congak pikirannya.
Karin hanya seonggok daging bernyawa yang tercipta dari sendu, rayu, pulih, asing, yang menjadikannya menjadi perempuan yang menyukai abu. Abu baginya adalah warna netral karena baginya warna itu bukanlah putih dan bukanlah hitam. Dan mungkin saja memang bukan pula percampuran dari keduanya. Namun, ia juga mendamba biru. Dalam bukunya ia menulis,
Saya manusia yang menyukai biru dengan tidak lumrah. Biru dari sebuah perjalan dalam rimba ataupun biru dalam sebuah semesta. Ditambah juga biru yang biasa lari-lari kecil yang beriringan degan pasir putih yang terinjak bagai budak.
Selalu ada candu ketika harus mengadah dalam ketidak terbatasan biru. Diatas biru masih ada biru, tentu. Dengan biru aku menikmati, belajar, berpikir, merenung.
Seringnya bercanda dengan diri sendiri, mungkin aku akan takluk pada ia yang sering membawaku pada sebuah biru.
Kini, Saya sedang mendamba biru dengan terlalu. Karena perjalanan lalu yang kulihat hanya abu.
Mendamba Biru yang tidak melahap Musa pastinya.
Bahkan dirinya sendiri pun masih belum tahu bagaimana dia akan terbentuk. Apakah dia sedang senang atau sedih? Apakah dia sedang mengalah atau hanya menyerah? Jika dalam dunia nyata, ia hanyalah manusia bermuka penuh. Penuh dengan seri yang menjadikan orang disekitarnya bisa ikut berbahagia. Penuh tawa tidak hanya bahagia bahkan komedi juga ada pada rautnya. Gelagatnya layaknya gag woman yang biasa ia lihat dalam tv show negara tetangga. Jika ia berperan begitu bahagianya, manusia mana yang akan tahu bahwa ia sendiri merasa dirinya abu.
Namun, ia adalah manusia yang tak mengerti dirinya. Dia adalah abu yang mendamba biru. Lalu, dalam pojok kamarnya bisa saja ada yang menaruh ketertarikan mengapa ia begitu konsisten berperan menjadi manusia bahagia. Lalu ketika ia lelah dengan kehidupan kampusnya ia balik dalam kamar lalu kembali diam ditemani bayangan sendiri dan bayangan lampu tumblr yang bernyala sendu kesukaannya. Ia kembali dalam dunianya. Berdiam, menerawang, menyesal, mencari diri. Lalu ia kembali menjadi filsuf amatiran.
Ia beranjak dari tempat tidur lalu menuju rak buku dan mengambil satu buku yang memberinya lega dalam setiap sajak yang ia baca. Tagore si Tukang Kebun. Buku syair yang dialih bahasakan namun tetap memberi kesenangan dalam setiap paragraf yang di bacanya. Bagaimana buku itu memuja bahwa wanita adalah makhluk terindah yang dicipta Sang Esa. Lalu, tenggelam ia dalam kebun itu.
0 Komentar