sumber gambar : https://twitter.com/LVGHSTmusic/status/971464690307158016 |
Setiap kali lelaki itu rawuh, ia bilang orang yang ia cari sudah pergi. Ketika lali-laki itu kembali, ia bilang untuk kembali besok lagi.
"Apa yang sedang kau cari tak ada. Tak bisa maksutku”
“Apa maksut dari...?”
“Entahlah, kau bisa kembali esok atau ketika kau sudah mau lagi kembali.”
“Seminggu lalu atau lebih kau bersilat demikian. Baiklah, two shots espresso akan lebih baik sepertinya”. si pria melangkah ringan meninggalkan manusia yang ada di balik meja barista dari warung kopi langganannya.
Begitu saja seterusnya, selalu berulang dalam satu tahun terakhir. Dalam langkah yang familiar, dia menuju kursi paling pojok. Sepuluh langkah sebelah kanan dari tempat wanita tadi berdiri. Sofa kecil yang mampu untuk membuat dua manusia saling berdialog namun hanya ia yang duduk di sofa itu. Sofa paling nyaman dimana ia menjadi pemburu. Pemburu untuk mengasawasi segala gerik yang ada di ruangan itu. Jika tanpa basa basi, gerik dari wanita tadi pastinya.
Kalau ingin digambarkan lebih lanjut, pria dan wanita itu tentu saja sama-sama tahu. Tahu bagaimana mereka berdialog namun takan tahu siapa mereka bahkan diri mereka nantinya. Takan ada yang mau mengalah untuk paham. Bukan, wanita itu tak mau mecoba paham. Sedang laki-laki juga tak paham apa yang dia lakukan. Yang ia tahu, ia akan berdialog dengan gadis itu, lalu memesan espresso, lalu ia duduk dalam sofa coklat yang ada dipojok -yang dipikirnya memang tersedia baginya. Berulang, mungkin dua kali paling sedikit dalam sebulan.
Kala lelaki itu bernyali, si gadis riang sekali. Dalam desakan yang tidak diungkapkan, lelaki itu menuntut untuk berdialog lebih dalam pada gadis itu. Ia sambung dialog yang sangat biasa itu.
“Panggil aku seperti dulu.” Ungkap lelaki itu. Baginya satu kalimat itu sudah memecah rekor dialog basa basinya.
“Galang?” senyum tipis melingkar dari gadis itu. Baginya lumayan menggelitik untuk mengucap nama itu. Sapaan “hei”, “eh”, “kau” sudah dipensiunkan dan galang menjadi penggantinya.
“Karin?” Galang uji nyali dengan sebut nama gadis itu.
“Ah, iya tentu saja. Seperti biasa kan? Eespresso dan akan aku antar ke sofa itu.”
Tersimpul senyum keduanya. Tidak ada hal yang berarti atau yang istimewa dari memesan sebuh kopi. Namun, semua itu menjadi sebuah pembeda dari hari hari seblumnya. Menjadi pemecah rekor dari waktu berbulan-bulan yang sedikit sia-sia. Ada rekor baru pula, selain satu kalimat tambahan, tiap kali dalam istirahat siangnya ia minum kopi bersama. Dalam tujuh hari itu menjadi dunia yang baginya berisi warna merah muda. Tapi juga ada warna lemon minuman kesukaanya.
Tatkala Galang berani, ia mengungkap bahwa ia siap untuk mencintai. Bagi Karin hal itu membuat penuh hatinya. Menjadi sebuah pelengkap yang entah kenapa membuat jungkir balik hidupnya. Perutnya mual, badannya panas ketika dihujam kabar yang menggemaskan. Bahkan espresso menjadi gulali bagi Karin sekarang ini.
Dalam hari berikutnya, dua obrolan menyatu, bahkan gigi putih kedua itu tak hentinya ditunjukan pada pengunjung lain. Yang orang lain tahu, mereka menjadi sebuah pasangan yang akrab dikala jam istirahat. Namun yang Karin pahami, ia sedang lelah. Sedang lelah menahan diri. Namun akhirnya dia kembali pada akal yang tak masuk akal. Baginya ia memulai kepura-puraan gilanya kembali.
Dalam setengah musim penghujan, mereka menjadi sebuah pemandangan yang akrab dalam warung itu. Dari sofa coklat yang menjadi lengkap, yang bisa menjadikan dua manusia saling berdialog. Namun semuanya kembali pada awal. Bahkan tak ada satu manusia pun yang berpikir disofa itu apalagi berdialog khidmat seperti masa sebelumnya.
Gadis itu, pelayan warung kopi itu, barista itu, kembali waras. Waras bagi dirinya sendiri, namun entah bagi yang lain. Setelah lepas dari pertahanan dirinya, malah menjadi peran antagonis pada drama nya sendiri. Berperan untuk mengenyahkan si lelaki. Lama hilang sudah si Lelaki undur diri. Meski sebulan sekali ia sering menampakan diri pada warung kopi.
“Kau mulai lagi Rin.”
“Aku tak siap,,,”.
“Apa lagi yang perlu dipersiapkan?”
“Aku hanya tak tahu, “ uangkap Karin dengan hati-hati pada karibnya.
“Aku kira kau sudah sembuh,” tambah manusia disamping karin. Baginya karin sudah mulai untuk terbiasa dengan semua. Namun kenapa dirinya selalu putar balik untk tak mau melangkah.
“Tak ada obat”.
“Galang sudah berperan sangat Baik rin. Bahkan kau menjadi Karin yang bisa berdialog dan terbahak itu. Kalian berdua bahkan tak segan memanggil nama. Bahkan bertegur sapa hal yang tak sulit. Kau terlalu sulit.” ungkap karib yang menjaid tokoh penyemangat dalam dunia Karin.
“Iya, aku sudah tahu dia juga pasti leyap.”
“Kamu tolol, yang membuat lenyap itu kau. Yang sepi juga kau. Yang menangis juga kau. Kenapa aku harus ikut-ikutan melihat pemandangan tak enak ini?” protes karibnya. Ia sama sekali tak mengerti bagaimana berputarnya dunia Karin. Terlalu kacau.
Kalau saja Galang tahu, Karin melambangkan Galang menjadi musim penghujan yang dinantinya. Ia tahu penghujan itu akan datang. Tapi ia tak tahu kapan penghujan itu datang. Ia bagai hujan yang mengantar berkah pada isi alam, bahkan ia mengiringi Karin pada sebuah nyenyak yang sudah lama ia tinggalkan. Penghujan bagai kelegaan yang selama ini masih ia cari. Penghujan menjadi teman gemuruh dalam riak hati.
Hujan mengantar rayu, sendu, dan ragu menjadi sebuah bantalan hidupnya. Namun penghujan yang datangkali ini ialah yang menjadi penenang dan hadiah saat pelangi tinggal. Mendung bahkan menjadi begitu ia nanti. Karena ia tahu, dialognya akan menjadi sebuah hujan yang mengantar pelangi ke bumi. Karin tahu itu. Dia tidak gila. Dia waras. Namun, kewarasannya membuat ia keliru.
Bahwa yang ia percayai, hujan sudah terlalu lama mampir dikotanya. Ia tahu bahwa tak akan lagi mendung. Dan tak akan ada lagi dialog yang mengantar pelangi. Ia tak ingin dirinnyaa menjadi hujan, yang tiap malam terisak karena sebuah kepergian. warasnya mengantarkan gilanya kembali. Sebelum mendung menyambangi kotanya, ia sudah siap meninggalkan penghujan itu. Yang memberinya espresso rasa gulali. Yang memberinya bahak dalam dialog di sofa coklat warung kopi.
Kepura puraan yang gila itu yang harus nya ia tahan. Dai harus cukup waras mana yang gila dan mana yang pura-pura. Jika bicara mengenai rasa kasih, Galang menjadi penawar lengkapnya, Karin tahu benar mengenai hal itu. Ia menjadi selai strawberi dalam roti hambar yang ia santap saban pagi, ia menjadi moderator yang mengarahkan obrolan warung opi. Namun dari sisi gilanya, Galang menjadi kembang api yang meledakkan warna yang sekejap memberi pekat kembali.
“Kau sakit jiwa. Kau takut pada sebuah hal yang dibayangkan buka pada kenyataan. Kalu tolol.” Ungkap karibnya heran pada satu teman tololnya ini.
“Kau tau kan dia menyamakan aku dengan yang tiap kali ia pesan saat datang ke sini. Yang meski pahit, tapi yang ia butuhkan. Yang ia selalu pesan saat bertandang. Baginya epresso itu manis! Lalu, siapa yang tolol? Dan aku penuh lebam, menampar diri sendiri, menampar orang lain, tertampar, dan luka yang aku takan lupa. Dalam sekujur tubuhku penuh lara,bahkan hati ku pincang. Otaku tak waras. Aku mabuk.”
“Iya kau tak waras karena menggap dirimu tak waras. Kau anggap dia sakarin? Yg dibutuhkn untuk pemanis hidupmu saja Rin?”
“Kalau akumampu bilang sih, dia adalah mendung yang kutunggu. Hujan yang kubutuhkan. Da adalah kembang api malam bagiku.”
“Segampang itu kau ucap di depan mukaku, tapi sesuah itu kau berusaha memutus dialog itu!lucu!”
Yang disesalkan, dia tidak bisa melihat pelangi yang terakhir. Dia tidak bisa berdialog dengan mendung yang mengantarkan hujan. Ia tidak mungkin balik pada kotanya dan meninggalkan usaha pelariannya. Tidakah Galang tau, kembang api akan meledakan singgasananya dalam benak setiap manusia, yang meski hilang, namun memori, suara, warna, deru, dan rasa tetap akan menjadi bekas luka dalam ingatan. Galanglah kembang api dalam dunia Karin.
Tak ada mendung. Tak ada dialog hujan. Tak ada yang mengantarkan pelangi ke bumi. Takan ada riuh suara takjub pada malam hari. Tak ada kembang api. Dan tak ada nyali untuk menagih semuanya balik. Lengkap sudah dunianya. Ia berperan untuk menyalakan kembang api yang akhirnya meledak lenyap, meninggalkan kelam hanya dalam benak.
0 Komentar