Resensi Kelabu dengan Barrie


sumber: https://minabraun.com/Time-to-Wonder-3


Ada ruh yang menarikku kembali. Kalau kata orang, aku kemarin sedang main di dunia buatannya J.M Barrie. Hipotesisnya, aku sedikit lupa atau menolak untuk berpulang sepertinya. Namun, ruh itu mendesak agar aku bersiap lari dan mungkin aku akan tergopoh, tapi tak apa. Karena katanya, banyak tangan kasat mata yang akan mendorongku. Tapi harus hati-hati katanya, saat mereka mendorong bisa saja kamu jatuh dan saat itu kamu harus waras untuk kembali berdiri dan lari.
Apalagi waktuku katanya sudah mendesak. Katanya pun harus berterimakasih banyak karena ruh itu membangunkanku meski kesiangan, karena ku begitu terlelap karena tiap malam kerjaanku hanya  mabuk.
Lalu untuk mngejar waktu, aku tidak tahu harus berbekal apa. Biasanya aku tak pernah mengejar, hanya jalan dengan ritme pelan juga sudah cukup. Tapi kali ini, waktuku mendesak, katanya. Aku juga tak tahu harus bertanya pada siapa. Dan itu hanya pesan satu satunya yang aku terima saat terbangun tadi. Jadi, aku tergesa juga karena orang orang sudah menunggu di garis sana. Begitu pesan yang kuterima dari ruh tadi.
Setelah perjalanan panjang, aku sampai dengan waktu yang tersisa beberapa menit saja. Aku berkumpul kembali dengan orang orang yang menungguku. Sesampainya, banyak tanya yang diantaranya: Bagaimana perjalananmu? Apakah kau sedih meningalkan dunia J.M Barrie ? Atau kau ingin balik lagikah?
Tentu saja aku sedih. Kalau orang tua ku hanya membelikan adikku tas tapi aku sama sekali tidak dibelikan apa-apa. Atau saat ibu memuji kerja keras adikku saat membuat PR tapi padaku pun tidak. Atau saat aku tiap kali juara kelas tapi tidak ada kata selamat dari orang tedsekat.  Aku sedih,  itu wajar. Sedih itu fitrah, kan?  Menangis apa lagi, itu juga sebuah ekspresi. Menakutkan kalau aku tak permah sedih atau bahkan perihal yang satu lagi.
Ataut kalau sekarang, seperti kau like status media sosialnya tapi padaku tidak. Atau kau ngobrol bersamanya tapi dengan ku tidak.  Begitu juga aku sedih, seperti halnya ibuku beli sepatu untuk adikku tapi aku tidak dibelikan.  Menuntut adil juga mana bisa, manusia mana yang punya keadilan, begitu kan? Menuntut adil pada ibuku? Mana bisa? Anaknya kan bukan satu, begitu juga kamu kan?
Lalu aku menyesal sudah lari dan bangun lagi? Tidak. Aku banyak belajar saat aku terlelap dalam dunia si Barrie. Banyak kisah yang harusnya aku serahkan pada editor sepertinya. Karena dalam kisah itu mengajarkan kalau aku sebenarnya tak apa menjadi manusia sederhana dan mungkin orang orang terlalu drama.  Jadi aku memang sudah harus angkat kaki dari dunia si Barrie. Dia tak butuh aku katanya. Dan si Barrie menitipiku memo:
Kau sudah tidak bisa tinggal dalam duniaku. Kau harus angkat kaki dan lari. Dan sayangku , kau takkan bisa kembali. Siapkan dirimu baik-baik. Aku selalu ada dalam atom dirimu.
Pesan lainnya,
Tak ada yang salah pada dirimu. Kau sederhana, sudah cukup. Kalau kau lapar kau makan, kalau kau sedih kau menagis, kalau kau sebal kau boleh marah, kalau kau suka kau boleh tertawa. Sewajarnya saja. Tapi duniamu yang sekarang tidak sederhana, jadi bersiaplah.
Begitu, memo itu aku dapatkan saat ruh  itu membangunkanku. Dan sekarang aku tak tahu siapa si Barrie sebenarnya. Dan dimana ruh tadi yang menyergapku untuk terburu-buru angkat kaki. Sekarang, hanya kudapati bersama orang-orang rumit untuk berbagi kisah dan obrolan mengenai perajalanan masing-masing. Begitu seterusnya, mendengarkan orang mengeluh dan mengulangi kesalahan yang sama. Dan mengeluh lagi. Berulang lagi.

Posting Komentar

0 Komentar