Tak Apa, Tak Ada yang Sempurna Awalnya


source: https://artfulparent.com/mothers-day-portraits-kids/
Aku kira ia adalah seorang ibu yang ahli. Yang seharusnya sudah tahu bagaimana menjadi ibu. Tak sadar kalau ia juga baru pertama jadi seorang bunda, baru pertama menjadi orang tua untuk anak-anaknya. Jadi, mau aku tuntut seperti apa, dia bukan orang yang ahli dalam perihal menjadi orang tua. Sesal menjadi sebuah masa lalu kenapa aku menjadi anak yang kadang tak tahu malu. Menuntut untuk dibelikan ini itu. Bahkan aku pernah banting pintu kamarku karena aku marah pada ibu. Menuntut untuk mendapat hal sempurna. Meski aku kadang tak tahu bagaimana ia bisa memberikan semuanya. Yang aku tahu semuanya harus ada. Aku lupa, bahwa ia juga pernah muda. Ia pernah menjadi bocah sama sepertiku. Ia pernah menjadi gadis dengan sejuta mmpi yang tertunda karena ia melahirkan aku.

Ibu, ini anakmu. Anak yang paling malu untuk ungkap sayang dan kasih kepadamu. Aku tidak pernah ungkap rasa sayang, bahkan ungkap bagaimana aku merindu padamu. Kita sama-sama tahu bahwa kita mungkin tidak akan saling sapa dalam waktu lama. Aku harus menuntut ilmu dan kau harus berada di rumah untuk menjaga anakmu yang lahir setelahku. Tapi kita sama-sama tahu bahwa kita nanti juga akan bertemu. Dalam penantiamu, aku harap kau dalam keadaan sehat wal afiat. Aku harap engkau bisa makan dengan lahap, jangan terlalu lelah dan memaksakan diri untuk pekerjaan rumah tangga yang aku tahu takkan pernah ada selesainya. Jangan memaksa diri karena aku tahu dirimu semakin tua. Jangan lupa bahwa ibu juga manusia biasa yang butuh “mereda”. Berikan porsi untuk menyanyangi diri sendiri meski memang kau selalu lebih menyanyangi anakmu dan keluargamu.
Tak apa ketika aku pulang kau selalu dalam keadaan berbeda. Mungkin kerut wajahmu bertambah, atau tumbuh rambut warna putih. Atau kau menjadi sering mengeluh gampang sakit sendi. Tak apa, meski semua membuat aku sadar juga kalau aku semakin dewasa dan kau semakin tua. Tapi dengan pertanda yang ku sebut itu, pertanda aku masih bisa melihatmu. Selalu ada kesempatan untuk bertemu denganmu dalam dunia yang sama. Kau juga tahu kan apa yang paling kita takutkan? Bahwa perpisahan yang paling sakral akan terjadi karena keadaan. Bahwa perbedaan dunia bisa saja terjadi tanpa aba-aba. Tapi kita juga sama-sama tahu semua juga akan mati, dan begitu kita sama-sama berusaha dan berdoa untuk tetap hidup bahagia bersama.
Terima kasih karena bagiku kau selalu meggadaikan dirimu pada keluargamu. Aku minta maaf karena telah menjadi anak yang kaku dan malu untuk ucap sayang atau ucap aku rindu padamu. Aku minta maaf karena pernah atau mungkin dulu sering menuntutmu menjadi ibu yang harus selalu ada dan siap sedia apapun yang aku minta. Terima kasih selalu ingatkan aku untuk tunduk pada pencipta, ingatkan aku untuk sempatkan bangun dalam sepertiga malam, dan ingatkan aku untuk selalu bahagia dan menerima meski masalah kadang diluar logika.
Terima kasih dulu selalu setrikakan seragamku, jadi aku selalu menjadi siswa terapih di sekolah. Terima kasih kau selalu belikan aku buku tulis yang bergambar yang walau kadang lebih mahal dari buku biasa, jadi aku dulu bangga punya buku tulis yang penuh warna. Terima kasih dulu belikan aku crayon 48 warna, jadi aku pun menjadi murid dengan warna crayon terbanyak saat pelajaran menggambar. Terima kasih kau selalu belikan aku tas baru setiap aku naik kelas, jadi aku tambah semangat sekolah dan bertemu sama teman-teman ku. Terima kasih juga untuk selalu sabar ketika dulu aku menjadi berbeda karena sakit yang tak biasa. Terima kasih sudah sabar dan tetap berharap bahwa aku bisa kuat dalam menghadapi dunia.
Tapi, meski aku tak bisa bersuara untuk ungkap cinta, atau bertemu dalam setiap harinya, kita selalu menjaga komunikasi dengan sempurna. Bahkan kau adalah orang dengan chat di urutan pertama di media sosialku. Hanya nomor “hape” mu yang aku ingat. Kau bahkan mengalahkan segalanya. Dan aku juga senang engkau tak butuh waktu lama untuk membalas pesanku. Dan lucunya, kita malah sering curhat layaknya teman sejawat. Dan tahun ini sepertinya banyak sekali curhatan mengenai diriku ya? yang tak bisa sering pulang ke rumah karena harus sekolah. Sedangkan di rumah sedang banyak-banyaknya undangan pernikahan teman. Jadi, kau agak sebal karena undangan itu bukan bertulis namaku kan? Tapi, terima kasih sudah bertandang dan mewakili diriku untuk teman-temanku. Nanti kita main bersama. Aku ingin ajak engkau makan bersama, jalan bersama, dan nanti sepulangnya aku pijit pundakmu yang terbiasa memikul beban hidup keluarga. Terima kasih karena sejak dulu kau berperan. Berperan menjadi teman, berperan menjadi ibu, dan bahkan berperan menjadi seorang ayah ketika dibutuhkan.
Kalau perihal hebat, tentu saja kau yang paling nomor satu diantara manusia di muka bumi. Aku akan berusaha agar takkan ada tangis yang keluar karena hal yang sia-sia atau menyedihkan yang datang, atau yang tiba-tiba “membentur” padamu nanti. Simpan air matamu nanti untuk hal yang bahagia saja. Selamat hari ibu. Ini surat untukmu yang aku tulis dengan malu-malu dan lumayan sendu. Semoga tersampaikan rasa kasihku yang jelas sudah tidak bisa kugambarkan betapa dalam aku membutuhkanmu.

Selamat Hari Ibu. Engkau yang terbaik.


Posting Komentar

6 Komentar

  1. Ngomongin orang tua selalu bikin haru dan sedih. Jadi keingetan diri yang masih jauh dari presikpr anak berbakti. :(

    BalasHapus
  2. Hiks pengen nangis. ..

    Inget ortu, btw ilustrasi gambarnya bagus banget

    BalasHapus
  3. ngomongin ortu emang suka bikin baper hiks

    BalasHapus
  4. Kadang kita terlalu banyak menuntut sama orang tua padahal kalau di balik, kita udah bisa bahagiain orang tua belum ya? Huhu jadi sedih

    BalasHapus
  5. Wow suka banget sama ilustrasi gambarnya kaaak. Dan selalu semangat ya sebagai orang yang akan menua dan menjadi orang tua juga.

    BalasHapus