Norak

sumber gambar: minabraun.com


Norak menurutku sih lebih pada perihal takjub. Misalnya, ada media sosial baru namanya yakni instagram, lalu dengan instagram orang bisa dengan gampang share kehidupan pribadinya. Dari yang mulai dia sedang lapar, dia sedang sakit, dia sedang sedih. Semuanya dibagikan di instagram. Noraknya sih kalau menurut aku, misalnya aku membagikan perihal yang menyangkut privasi. Atau gini, aku habis bertemu Tuhan lalu aku umbar di media sosial. Aku sedang merasa menjadi manusia paling cantik, aku nyatakan juga dengan sebuah gambar atau video boomerang. Tapi cantiknya setiap hari, jadi selalu  pajang muka selifie.  Atau noraknya sih, kalau aku sih ya, ketika ada sebuah individu dari suatu kaum yang plin plan. Kasarnya sih ketika pagi dia memakai kerudung, malamnya pakai rok mini. Nah, itu instagram sudah seperti kamar sendiri. Mau buka tutup bebas, tapi orang lain mampu lihat. Atau aku yang norak, karena hal sepercik itu malah ditanggapi? Eh, iya aku  norak juga. Baru beli buku saja aku pamer saat buka bungkusnya, apalagi ia yang buka “bungkus” sendiri. Baik, bukan masalah.
Oh iya, ini kan subjektif, jadi jangan norak ya.
Lanjut lagi, norak itu ketika tahu tapi mengingkari. Nah, mending jangan tahu, jangan baca buku, jangan nonton video juga, jangan komunikasi, intinya mending dekati kebodohan saja, atau pakai konsep “diri sendiri”. Bermasyarakat dengan diri sendiri, beragama dengan pemikiran diri sendiri, dan bertuhan dengan diri sendiri. Biar tidak tahu apa-apa, soalnya bahaya, kalau tahu tapi tidak dilakukan nanti dibilang bebal. Yang paling norak sih seperti aku dulu, belum bisa membedakan mana yang ajaran dan mana yang agama. Eh dua kata sebelumnya bukan sinonim? Mending tidak usah tahu, kalau tahu? Ya sudah.
Aku juga masih norak sih. Masih belum bisa untuk tidak menilai orang dari omongannya yang keluar, buku yang dibaca, sumber referensi yang dipakai, atau berita yang di suka atau ia bagikan. Kok orang-orang masih bisa mengakui sebuah hal dengan yang cacat logika atau bahkan analogi yang timpang. Selain itu, norak itu sih selalu ngobrol materi. Materi diskusi? Bukan. Ituloh materi yang buat orang dilihat secara vertikal berdasar hasil dan pendapatan. Lebih norak lagi, yang katanya baru main di ibukota langsung adaptasi katanya.
Hal norak lainnya, orang yang tidak bisa membedakan mana yang eros, philia atau agape. Lalu  membedakan mana yang aritmia, lust atau adrenaline. Norak yang paling lagi sih, merasa dirinya yang paling istimewa. Ia yakin penuh logikanya, tidak akan ada kata baper misalnya, tapi ketika berjalan tidak sesuai, meraung ia sejadi-jadinya. Salah sendiri sih, perasaan buat perjudian. Lagian norak juga, bukankah diri sendiri yang paling tahu kelemahan dan kelebihan, ketika kalah malah menyalahkan orang.
Hal norak lainnya, apa ya? tidak apa adanya? Tong kosong nyaring bunyinya? Manusia tapi tidak manusiawi? Beragama terburu-terburu? Nah, yang buru-buru, hati-hati nanti tersandung malah masuk jurang. Bahaya. Hijrah buru-buru, nanti bosan, hijrah lagi menjadi seperti semula. Lagian hijrah bukannya sebuah kebutuhan? harus setiap hari kan hijrah, jadi tidak perlu waktu penentu. Nunggu tahun baru, nunggu sudah berilmu. Karena tiap hari harus berpindah dari hal yang baik ke lebih baik. Misal, misal nih, baca buku satu lembar, besok baca buku dua lembar. Begitu kan? Nah kalau ilmu seperti air, jangan langsung guyur dibadan, bertahap saja. Jangan langsung ciduk dan buat mandi. Kan bisa buat minum, memasak, menyiram tanaman, atau yang lainnya. Kalau langsung diguyur air yang dingin itu, bahaya juga, nanti bisa shock jantung. Nanti mati  bagaimana? Kan cuma ada dua, surga atau neraka.

Posting Komentar

1 Komentar