Merayakan Kesepian

design.tutsplus.com


Ada tulisan “tablet dan tiga kali sehari setelah makan” pada plastik yang digenggam oleh perempuan itu. Serta ada tambahan lagi di kresek plastik yang membungkusnya dan tertulis Rumah Sakit Medika. Dalam genggaman tangan itu terlihat bahwa dalam kresek itu berisi vitamin, antibiotik, paracetamol, dan graseric yang harus ia minum setiap makan atau sesudah makan agar ia bisa pulih dari ketidakenakan badannya.  Sedang di benak perempuan itu, ia menggumamkan pikirannya sendiri:
Aku mulai sadar meski dari dulu aku tak boleh mengeluh, sekarang pun tak bisa mengeluh. Kalau aku sakit aku hanya bisa sekadar cerita kepada teman. Tidak menumpahkan keluh ku. Misal aku cerita ke orang tuaku, mereka hanya sebatas menasehati atau menceritakan kalau aku terlalu hidup tak sehat. Terlalu  junk food dan fast food kata mereka. Sedang kalau aku cerita pada publik dalam sosial media yang kupunya, itu tanda mencari perhatian kata orang. Sedang jika aku cerita ke orang tua lagi, mereka bilang seharusnya aku punya pendamping. Aku tahu semakin aku tua dan sendiri, maka aku tak bisa mengeluh apalagi karena sakit. Memang orang miskin tak seharusnya sakit.
Perempuan itu  melewati cafe kecil sambil memusatkan perhatiannya pada barista laki-laki yang terlihat di depan kaca bagian luar kafe itu. Hebatnya seorang wanita, bisa fokus pada satu hal menyambi ia melakukan kegiatan lainnya-fokus pada Mas Barista sambil melangkah melenggang normal seperti tidak terjadi apa-apa.
Dari samping barista itu, ada seorang pelanggan yang sedang membayar tagihannya di kasir dan siap keluar pintu Cafe kecil itu. Dalam benaknya ia mengingat lagi obrolannya dengan karib malam lalu dan kembali hilang dalam dirinya sendiri.
Ketika aku bilang bahwa kesepian membunuhmu, teman temanku tertawa. Sedang aku serius dalam hal ini, bahwa kesepian memang bisa membunuhmu. Mungkin mereka tak tahu saja kasus bunuh diri yang beruntun di tahun lalu karena jiwa mereka sepi. Keluh mereka tak ditanggapi, pemikiran mereka dianggap drama, kesah mereka hanya dianggap cari perhatian belaka.
Begitulah anggapan kesepian bagi seorang lelaki paruh baya yang masih mencari jati diri, yang masih shock karena kepergian teman dekatnya yang mendadak bunuh diri seminggu lalu. Ia yang pertama kali menemukannya dalam keadaan tak bernyawa saat ia sadar bahwa temannya tak bisa ia hubungi selama 2 kali 24 jam. Bagaimana ceritanya, tak perlu dirinci di paragraf ini.
Seperginya wanita yang jatuh suka pada barista di cafe kecil yang ia lewati, pelayan dalam cafe itu membawakan pesanan menuju meja no 5. Bukan kopi yang dipesan tapi susu murni rasa strawberyi dan air putih biasa untuk si lelaki. Sedang yang sebenarnya terjadi pada meja itu, lelaki itu tak tahu kalau ternyata wanita di depannya tidak lihai menghisap asap rokok, bukan berarti tak pernah meorkok. Lelaki itu tak tahu bahwa wanita di depannya sangat ramah dan asik sekali saat perbincangan mereka berdua, bukan berati dia pandai bersapa untuk selanjutnya bersenggama. Lelaki itu tak tahu bahwa wanita yang memegang rokok dan pandai bersapa itu tak pernah tersentuh satu laki-laki pun termasuk lelaki di depannya. Sedang kalau kau bisa intip saja kebocoran yang ada dalam otak lelaki itu, ia anggap wanita di depannya easy going sekali padahal konsevatif adalah istilah yang tepat untuk sebutan bagi wanita di depannya.
Tak jauh dari tempat nongkrong itu, ada cafe yang buka 24 jam. Bukan cafe khusus kopi dan minuman cantik lainnya namun semacam restoran kecil yang menyajikan makanan berat.  Di situ ada pelayannya bernama Ghani, mahasiswa semester 6 yang sedang berkeluh untuk dimengerti. Pikirnya, dunia tak mau mengerti dirinya. Ia hanya memikirkan betapa tak pengertian orang tuanya. Mana tahu orang tuanya kalau anak perempuannya sedang dilanda keresahan. Yang mereka tahu hanya mengirim uang meski cukup tak cukup, ia harus menurut. Mana tahu orang tuanya kalau anak perempuannya kesusahan hidup sendiri diperantauan sampai sakit dan diopname pun tak memberi kabar. Mana tahu orang tuanya kalau anaknya tidak mampu menjalani dunia perkuliahan, sedangkan ketika anaknya bercerita hanya omelan dan tuntutan. Mana tahu orang tuanya kalau anaknya butuh pertolongan, yang mereka tahu bahwa ia kuliahkan anak perempuannya untuk menolong mereka dimasa depan.
Sedang tak jauh dari Ghani, duduk lelaki yang sibuk dengan ponselnya. Memikirkan banyak tentang kasus yang belum terpecahkan dalam hidupnya. Sedangkan, seharusnya, lelaki itu tahu jika sampai saat ini ia diterima, berati ia adalah menu kesukaan si wanita. Harusnya lelaki itu tahu, ketika ia mendapat jawaban -tidak ada siapa siapa dihidupnya padahal ia sedang berbicara dengan lelaki itu- siapa lagi lelaki yang paling dekat dengan hidup si Ia. Lalu siapa lelaki itu yang tak tahu diri berdiri di depannya malah ia mencari tahu siapa lelaki dihatinya? Tentu saja lelaki itu, yang berdiri dan bertanya untuk mencari tahu siapa lelaki dihatinya. Manusia memang tak bisa melihat cermin yang disembunyikan di hati wanita, dan seharusnya lelaki itu bercermin menghadap si wanita. Rumit memang.
Sedangkan masuk ke ambang pintu yang lebih dalam di bagian pojokan sebelah kanan, sekumpulan wanita dewasa muda sedang berkutat dengan obrolan persiapan pernikahan salah satu sahabatnya dan akhirnya ada satu orang yang menceletuk bahwa pertunanangannya batal. Setelah derai air mata yang jatuh sebesar biji jagung kalengan, setelah usut kena usut, seteah semua wanita dewasa muda itu mengeluarkan air matanya masing-masing sebesar biji kedelai, jagung dan lainnya, bahwa ternyata, lelaki yang ia pikir selama ini adalah paling laki diantara semua, adalah seorang gay. Bukan berarti gay harus feminim dan melambai, tapi lelaki yang sangat lelaki itu ia anggap masa depannya dan mana mungkin dia mencitai lelaki lainnya. (Padahal selalu ada kemungkinan di dunia ini). Setelah cerita bersambung mengenai mantan tunangannya yang ternyata gay, karibnya ada yang menangis karea kecewa, menangis karena baju bridesmaid sudah terlanjur dijahit, ada yang lebih kecewa lagi dan menambahkan bahwa sungguh ia  memang benci lelaki.
Tak jauh dari semua setting terjadi, ada kampus yang megah berdiri dengan pagar tembok besi yang menjulang dijaga oleh satpam berseragam warna hijau muda seperti hansip dengan gaji hanya setengah UMR lebih. Seringnya, jika ia tak beruntung, uang dari gajinya tersisa seperempat karena harus bayar tagihan untuk memenuhi hidup anak istri.  Tak jauh dari satpam seperti hansip itu duduk, ada salah satu bagian kampus  yang paling populer tapi sedang sepi, yakni sebuah pohon beringin dengan meja dan kursi buatan dari semen serta dicat putih. Meja kursi yang tidak terletak di bawah persis pohon itu, tapi sekitar 2 meter jauhnya. Di kursi itu duduk perempuan dengan kacamata aviator dan hoodie warna hijau pemburu yang sedang merenung entah satu menit atau dua menit yang kemudian balik lagi pada kenyataan dirinya. Ia memikirkan apa guna test pack bagi seorang mahasiswi apalagi jika ditaruh di bagian paling bawah bajunya. Tetspack sebagai pengukur kadar nikotin bagi pencandu rokok atau mengetes kehamilan? Satu fakta yang pasti bahwa mahasiswi pemilik tets pack itu tidak merokok aktif. Perempuan berhoodie itu sedang mencari jawaban alternatif yang ketiga, yang mungkin bisa ia dapatkan dibanding ia tanya langsung kepada pemilik benda itu. Yang pasti ia sedang merenung untuk membohongi diri sendiri mengenai jawaban yang jelas itu.
Dari semua pikiran dan obrolan yang terjadi dalam waktu yang bersamaan, yang lebih mewah mungkin isi kepala pengendara mobil Rubicon warna neon green dengan sedikit corak hitam dengan 4 pintu yang melaju di area kampus itu. Pengendara Rubicon itu sedang merencanakan pembukaan bisnis co working space plus cafe untuk cabang yang ke 10 di Malang. Ia sudah bersiap dengan penanda tangan kontrak untuk gedung yang akan dirombak kembali, dan ia pikir ia akan bersiap sekitar 1 bulan lagi untuk acara soft launching untuk co workingnya yang ke 3 di kota itu.
Ditarik jarak melewati samudera, sedang seorang bapak sedang megecek kendaraan sewanya untuk bekerja sambil memikirkan anak gadisnya yang sedang sekolah di perguruan tinggi di pulau tetangga. Ia tak sabar untuk datang menyusul dan mengenakan baju terbaiknya. Ia berharap anaknya bisa cepat menyelesaikan tugas pendidikannya dan bisa menjadi orang yang lebih baik dari dirinya. Yang tidak hanya mampu menggantungkan bintang di semesta namun menjadi bintang di semesta. Setelah mengecek kendaraan sewanya, ia pulih dan beranjak ke tempat duduk sopir dan melaju pada rute yang sudah ia putari 2000 kali lebih dalam hidupnya agar ia bisa mengirimkan uang saku dan uang kuliah tambahan untuk anak gadisnya. Dalam pikirannya, ia masih saja berkutat uang bayaran sewa, uang makan, uang bayar utang, uang saku untuk anak tercintanya, dan bagaimana ia bisa memenuhi itu semua kalau yang ia kerjakan hanya mengelilingi rute yang sama 2000 kali untuk mencari penumpang yag sama saban hari. Sedang ojek online sudah lebih murah, dan orang orang semakin sejahtera dengan cicilan motor dan moilnya. Bangku-bangku yang ada di belakangnya pun tak seramai dulu waktu ia masih belum terlalu putih rambutnya. Ia berpikir lagi, bagaimana ia bisa menjadi seorang bapak untuk anaknya, dan suami untuk istrinya, kalau yang ia lakukan hanya mengitari rute yang sama lebih dari 200 kali.
Tak jauh dari situ ada taman yang cocok untuk foto pre wedding, dan dua photografer yang sedang berusaha mempopulerkan karya dan studionya, serta satu asisten laki-laki dengan tampang idola bagi semua jenis kaum hawa. Jika dideskripikan, asisten itu memiliki penampakan dengan kulit bersih kuning,  tinggi sudah pasti, memilik gaya berpakaian yang khas dan enak dilihat, kacamata bukan sebagai aksesoris, sepatu timberland, jaket, tas, dan jam tangan dengan merek yang sudah positioning, tapi dibalik itu semua ia harus bekerja lebih sabar kerena gaji perbulannya hanya 2 juta rupiah. Untuk uang kosan, pulsa, kopi, dan rokoknya saja sudah pas, bagaimana ia makan? Mungkin disitulah kerennya dia, karena dia bisa hidup dengan uang sejumlah itu bahkan selama 6 bulan ini.
Seharusnya, perempuan ini membaca pikiran-pikiran serta dialog yang dilontarkan pada diri mereka, atau gumaman mereka sehingga perempuan ini tahu  bahwa ia bukanlah korban dari pemikiran terasingnya sendiri. Dengan begitu ia takan mengunci diri dikamar atau berprasangkan berlebih pada setiap orang. Seharusnya ia bisa bersyukur dengan kelemahan (yang ia anggap sendiri) bahwa berbeda adah hal yang sama. Padahal tak usah berusaha untuk sama, sudah jelas-jelas semua manusia berbeda. Harusnya begitu kalau orang waras. Perempuan itu mana waras, yang ia tahu bahwa ia ingin membunuh laki-laki yang sudah merusak kehidupannya. Tapi mana bisa manusia saling bunuh, jadinya ia membunuh pikirannya mealui psikiater yang ia sambangi 2 bulan sekali. Begitulah korban ghosting seorang pria muda. Enak sekali menjadi hantu yang mengambil harta lalu datang dan hilang seenaknya.

Dari semua gumaman dan pikiran itu, aku tahu bahwa merayakan kesepian adalah hal yang paling aman dan normal. Tidak perlu psikiater, tidak perlu rokok kecuali ada yang memberi, dan yang paling penting dalam merayakan kesepian adalah playlist spotify nonstop dan stok series netflix. Ditambah makanan yang selalu siap sedia di kulkas seperti daging dada ayam, brokoli, dan kentang (yang sedang menjadi makanan sehari-hari) agar kolestrol dan lemak dalam perut bisa lenyap setidaknya untuk satu bulan kedepan. Selamat merayakan. Entah kesepian atau kegaduhan. Setidaknya ada yang kau rayakan untuk hidup lebih berarti.

Posting Komentar

0 Komentar