Distorsi


Jalan jalan kosong dan sepi. Angin bertiup sebagai hal paling ramai hari ini. Pasar tradisional sebrang jalan sepi pembeli hingga pedagang mengangkut dagangannya lebih dini. Katanya, mulai minggu ini, semua pedagang akan libur. Kalau kau ingin membeli sayur, tinggal kirim pesan, nanti belanjaamu akan sampai di depan mata. Memang lebih mudah dan sederhana, tak perlu manusia harus keluar rumahnya.

Sebenarnya kehidupan belum senyap betul. Dalam ruang-ruang berksekat tembok warna-warni, dari sejenis putih sampai putih yang lainnya, mereka bersorak. Tetap terkoneksi dengan kawannya, bergoleran dengan satu tangan memanggu wajahnya, serta tidur karena sudah bosan mau melakukan apa.Perihal tersekat, Manusia memang harus terkunci dalam ruangnya masing-masing kalau mereka ingin selamat. Di kota kami bahkan polisi bersenjata sudah menjaga perbatasan untuk masuk dan keluar kota.

Selain lebih senyap, semua  menjadi lebih jelas. Orang-orang semakin terlihat watak aslinya. Yang kaya semakin terlihat dengan borongan sembako yang memenuhi kulkas dan gudang mereka. Para orang jahat terlihat dari postingan media sosial yang menjual masker seharga 40 kali lipat dari harga sebelumnya. Yang bodoh masih saja tetap dijalan harus berjaga garis batas kota dengan baju APD yang seharusnya dipakai tenaga medis sebagai garis terdepan menghapi bencana.
Perkampungan dan kota kini sam saja. Dalam gang kecil masih bersorak suara bocah meski lebih sepi dari sebelumnya. Tidak ada kejar-kejaran, tidak ada petak umpet sebagai permainan, bahkan tukang jagung keliling sudah pulang kampung halaman. Sepi, dan semakin terlarut senyap seperti kota yang ditinggalkan para penduduknya.

Narasi sebelumnya, adalah sebuah republik yang belum siap menghadapi kehancuran ekonomi tapi siap kehilangan nyawa rakyatnya. Antipati pemerintah yang tak percaya bahwa ada kekuatan besar tak kasat mata yang akan membunhmu dalam beberapa hari saja. Sayangnya, nalar sedang dititipkan di negara tetangga dan menganggapnya dengan lelucon belaka. Ketika akhirnya kematian menyerang, 1000 orang sakit dan 100 orang meninggal, orang orang menjadi kuat dalam beragama. Semua bilang nyawa ada di tangan Tuhan mereka, tak perlu takut dengan sebuah penyakit, hanya tuhanlah yang berhak atas sebuah nyawa.

Agama menjadi propaganda paling laris. Seperti marketing shampo hijab, kerudung halal, bahkan hand sanitizer ruqyah. Propaganda oleh mayoroitas yang memang menuju satu agama, agama paling mayor dalam republik tercinta. Agama pula menjadi kedok para sexis berkeliaran. Para patriarkis tanpa kekuatan mampu ‘berjualan’. Ah indahnya agamaku, bahkan orang meminta-minta dan mengemis dengan atribut dan identitas agama. Para lelaki yang dianggap ikhwan adalah orang suci, yang bisa berpacaran melalui taaruf masa kini. Mengikuti kajian kajian untuk mencari para ukhti. Bukan saja agama, ditambah dengan dalil cendikia, menganalisis dialektika, buka diskusi buku kiri, atau mengenal sastra budaya,  tapi yang dikejar tetap demi selangkangannya.

Lalu berita di televisi sama saja. Bertajuk tentang menghitung  nyawa yang tidak bisa bertahan menghadpai kematian. Pemerintah bilang dirumah saja, tapi tiket pesawat dipromosikan dengan harga gila. Para pedagang masker senangnya bukan main, mereka berharap bahwa ini adalah rejeki mereka dengan menjual 40 kali lipat harga sebenarnya. Sebagai bekal untuk masa depan nantinya. Sayang, masa depan akan hancur kalau orang sekarang pada mati. Pedagang lupa kalau berdagang tidak bisa dengan orang mati.

Kota mulai senyap. Kantor, sekolah, restoran, dan ruang kreatif ditutup. Tak ada kerumunan. Para mudi bersorak, UN ditiadakan. Sebaliknya, para pejuang menangis, ojol sepi, pasar tak ada pembeli, perantau tak ada penghasilan lagi. Mereka tak ada tempat tinggal. Alasan mereka urbanisasi adalah ekonomi, tapi ekonomi sedang tiarap. Mereka bersujud pun ekonomi takkan segera bangkit. Mereka menangis, tak ada uang untuk bayar tempat tinggal, cicilan, dan hutang.  Satu jawaban, mereka harus pulang. Tapi gubernur menolak kedatangan mereka, para penduduk mengecam kedatangan mereka. Para perantau tergadai raganya, nyawanya, dan batinnya. Lalu siapa yang paling bisa diminta pertanggung jawaban?

Siapa lagi kalau bukan pemimpin? pemimpin disalahkan. Buzzer mulai kerahkan tagar turunkan. Dalam keadaan bahaya, memang hanya Tuhan yang dipercaya dan pemimpin yang kebagian salahnya. Berkoar koar sebagai korban. Para pesakitan sejenis kamuku ini memang yang paling mengingat tuhan dan pemimpinya saat dalam bahaya. Saat keadaan waras dan biasa saja, apatisnya luar biasa.


 source image :  Eilis Delany

Posting Komentar

0 Komentar