Tahun itu sebagai perburuan rasanya, tapi aku sebagai mangsanya. Bergelayut sedih yang selalu membuntuti diri, serta air mata menjadi panen tiap hari seperti resep obat yang harus dimakan setiap 3 kali sehari. Otak tak ada energi untuk mengendalikan nalar bahwa tak perlu berduka, sebaiknya. Begitu tahun berlalu, duka juga ikut melekat seperti bayanganku setiap harinya.
Dalam narasi ditinggalkan dan diabaikan, aku patut mendapat sertifikat kelulusan. Dunia menjadi alasan semuanya salah, keluarga menjadi alasan untuk tidak bersyukur, dan Tuhan menjadi alasan semuanya tidak seimbang. Ketika semua alasan di bumi sudah terjual, raga akhirnya menjadi alasan. Begitu, berpikir untuk merusak diri, membunuhnya, mematikannya, dan lenyap dalam sekejap. Manusia bisa sekuat itu untuk mematikan dirinya sendiri, tapi bisa selemah itu untuk merubah takdir yang ia jalani.
Dalam hidup aku tidak pernah menyelip syukur, aku tak perlu celah dalam bersyukur. Bersyukurlah dengan lantang seperti para aktivis berkoar selamatkan lingkungan atau persetan dengan birokrasi atau oligarki. Bukan pada celah, karena bersyukur tak perlu menunggu hidupmu retak.
Semuanya baik baik saja, seharusnya. Ragaku masih ada, namun roh dan nalarku sudah terbawa oleh manusia yang menyatu dengan bumi. Manusia, lelaki, sandaranku, dilayat oleh semua orang dan dikebumikan tanpa menunggu kedatanganku.
Dalam keruntuhan yang semua, aku membendung luka. Bersikap biasa dengan kepergiannya. Sayangnya, semua itu yang memunculkan sekat dalam hati dan nalar yang begitu jelas. Hingga semua dirasa itu, terangkum menjadi seorang yang tak mau peduli perihal hati.
Namun aku masih menghibur diri sebagai manusia yang cacat sebab luka yang ditorehkan. Karena ketakutan untuk ditinggalkan. Hanya saja, bagi kita, kau dan aku, bahagia seperti fiksi. Kita perlu berhati-hati dan tidak tenggelam di dalamnya. Kalau lengah sedikit saja, kita hanya melebur dengan semu dan kembali pada kenyataan yang berulang kali pahitnya.
Tapi, tidak sedikit juga bagian bumi ini mendukung kita untuk tidak terus temurung hingga hidup dalam tempurung. Kau dan aku bisa keluar sebentar, mencicipi teguk kenyataan ringan namun segar. Keberanian itu yang mengobati. Yang memeberi kita ruang untuk aktuliasasi diri.
Tak ada lagi pelarian, tak ada lagi perburuan. Kita hanya mangsa yang sedang bertahan untuk mampu hidup seterusnya.
source image: https://www.artisticmoods.com/lobke-van-aar/
0 Komentar