kita akan tersakiti oleh harapan yang dibangun begitu megah, saat kita melamun di bangku sma kala itu. Perjamuan akan lebih menarik saat kita sudah kuliah nanti, pikir sebelumnya. Akankah dunia kampus layaknya FTV yang tayang jam 2 siang di tv nasional? Akankah ada petualang-petualang menggelitik dengan senior-junior di kampus yang akan datang? Akankah putih abu akan menjadi sepenuhnya dewasa dan terjun kedalam dunia yang katanya “lebih nyata”. Begitu yang dibangun oleh pikiranku dulu.
Kita kadang mengorbankan waktu bersuka cita saat dibangku sma kini, mengorbankan waktu untuk mengeluarkan energi berlebih untuk belajar demi jurusan atau nama kampus yang kita kejar. Benar, nama kampus. Sayangnya, kontribusi dari opini orang awam sungguh berpengaruh dalam kehidupan masa sma kita. Kampus dan kuliah adalah pendidikan terbaik, mencetak para lulusan terbaik, sayangnya memunculkan labelling sebagai orang sukses ketika kita lulus kuliah nanti. Sebagian besar mungkin iya, mereka akan lulus dengan tepat waktu dan mempunyai pekerjaan yang pas dengan gaji yang mantap. Orang-orang ini yang disebut para tetua kita di lingkungan sosial sebagai orang sukses. Namun, kita juga perlu tahu bahwa banyak minoritas yang harus lulus di waktu yang tepat. Disela belajarnya harus menghidupi diri sendiri dan tiba-tiba mandiri. Atau karena alasan-alasan hebat lainnya yang membuat anxiety.
Sayangnya, yang belum aku tahu saat putih abu, memilih ranah dimana kita akan belajar nantinya sungguh berpengaruh pada pembentukan karakter diri. Jika awalnya tak ada yang bisa mempengaruhi diri kita, tapi kita yang akan mempengaruhi lingkungan di sekitar kita, pernyataan itu perlu dikaji ulang. Iya, terlebih lagi untuk diriku sendiri. Pemilihan kota, universitas, jurusan, sangat bepengaruh karena perbedaan pergaulan. Gaya hidup, komunikasi, dan penerimaan akan perbedaan sangat berpengaruh di sini. Jika kau memilih Jogja dengan label yang sederhana, Jakarta dengan label ibukotanya, dan Bandung sebagai kota yang asik dengan dunia fashionnyam meski ada yang bilang semua kota sama saja, jawabannya jelas tidak. Dan yang pasti, amnesia menjadi gejala awal para putih abu yang lepas dari seragam yang melekat selama tiga tahun berlalu.
Amnesia, sebaiknya kau berhati-hati dengan gejala ini. Kau lepas putih ibu dan menyandang mahasiswa sebaga identitas barumu. Sayangnya, mahasiswa bukan maha kuasa, maha esa, atau maha segalanya. Mahasiswa bagiku, menurutku, sungguh keterlaluan dengan jabatan maha di depannya. Mahasiwa seakan pembenaran ataupun prestise seseorang bahwa ia lebih tinggi derajatnya dari siswa atau orang biasa. Jadi, ketika ke-maha-an lepas dari identitas, seakan fasilitas mewah dan identitas priyayi longsor begitu saja. Longsor juga kebebasan berpikir atau semangatnya.
Selain itu, maha dalam siswa bukan menjadikan diri kita menjadi sombong. Serasa kau yang memiliki dunia, melupakan kerja keras orang tuamu dibalik identitasmu, atau doa dan ketulusan orang tuamu yang mengantarkanmu ke nama kampus besarmu.
Sejujurnya, kampus besarmu tidak akan menjamin kehebatanmu, apalagi dengan karaktermu yang melihat mahasiswa sebagai maha segalanya. Saat lulus nanti, di kantor atau di lingkungan mu berdiri nanti, kadang (kadang) kau takan ditanya berapa nilai UN mu, ataukah IPK, atau lulusan mana. Takan ada perkenalan dalam dua orang yang masih asing dengan kata pengantar, hai nama saya “lemon” dan saya lulusan “universitas keren dan jurusan keren” dan pernah menjadi panitia mahasiswa baru yang keren juga dan lalalala lainnya.
Hanya saja, aku ingin dengan kemahaanmu, identitasmu, semakin maha kau, semakin sadar bayak bias makna dan tanggung jawab yang berada menunggu kamu nantinya.
0 Komentar