Buku: Seni-Apa itu? Posisi Estetika dari Plato sampai Danto Oleh Michael Hauskeller

Judul : Seni-Apa itu? Posisi Estetika dari Plato sampai Danto
Oleh Michael Hauskeller diterjemahkan Satya Graha dan Monika J. Wizemann
Penerbit Kanisius 2015, 113 halaman


    Pengantar disampaikan oleh Prof. Magnis Suseno, lalu disusul judul pertama dan kedua yakni platon, kemudian aristoteles, dan selanjutnya.. Kedua murid dan guru tersebut mempunyai definisi yang berbeda mengenai seni. Sedangkan Plato melihat seni tuh kayak “ kalau ada drama tragedi, orang yang nonton akan terpicu untuk melakukan hal gelap”. Jadi , platon menganggap tak berharga si “seni” padahal kan dia juga seorang seniman dalam hal pemikiran dan kepenyairan. Jadi, antara pendapat dan dirinya bertentangan. 
    Sedangkan aristoteles, lebih positif melihat seni. Melihat seni bukan dari kebenaran yang dikandungnya tapi lebih ke efeknya. Misalnya, lihat drama dengan ketidakadilan, maka manusia akan marah akan hal tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa seni bisa membuat manusia sadar bahwa manusia mempunyai karakter untuk menolak ketidakadilan atau merasa rendah karena tidak bisa berbuat baik untuk ketidakadilan yang dia lihat.
    Pada abad pertengahan, cahaya sering menjadi objek seni. Sebagai pemahaman bahwa cahaya keluar dari sang penguasa, sebagai yang bersinar untuk umat. Maka katedral, bizantium, dan gotis juga mulai menyentuh bangunannya dengan ornamen-ornamen cahaya yang gemerlapan. 
Seni seyogianya menghadirkan yang tertinggi, tetapi bagaimana mengerjakannya kalau yang maha tertinggi sama sekali tidak bisa dihadirkan?( hal, 24)


    Kesan setelah membaca buku ini, menjadi lebih ingin mempelajari seni karena seni dalam hal ini berguna menggambarkan yang tak tampak. Seni mampu membuat orang percaya dengan adanya tak tampak, namun ada. selain itu, seni kan banyak yang bilang relatif lah. Tapi dalam buku ini setidaknya ada pernyataan bahwa ketidakmampuan melihat keindahan bukan pada selera pribadi , namun kurangnya kemampuan untuk memahami.
    Misalnya tubuh wanita, pada buku ini, dua hal yang orang lihat pada tubuh, yaitu cantik atau tidak cantik, da yang kedua yakni hanya akan menumbuhkan birahi hasrat duniawi. Dalam buku ini juga kita sekaan disarankan untuk belajar apapun dari hakikatnya, dari pengalaman nyata untuk mendapatkan hasil terbaik. Jadi, kayak “ kamu belajar dari dasarnya jangan asal tahu, malah nantinya hasilnya beda dan buat orang salah juga”.

Seni pada masa renaissance, dalam masa ini, seni tidak hanya mengulang yang sudah ada namun melanjutkan proses penciptaan pada tingkat lebih tinggi, pada tingkat refleksi. Seperti Leonardo, “seniman adalah penemu dan penerjemah antara alam dan manusia” (halaman, 31).
    Pada bab Immanuel Kant, jika pada masa sebelumnya, seni diputuskan indah dengan kaidah tertentu yang terkonsep. Lalu David Home menyatakan indahnya itu ditentukan nyaman atau enak dan itu subjektif. Namun pertentangan rasional dan subjektif ini, gagal karena tidak mencapai hal estetika sebagai dasar Immanuel Kant.
Manusia yang bertindak melulu berdasarkan perasaannya dan sama sekali tanpa prinsip adalah orang liar. Manusia yang hidup dengan prinsipnya dan tidak menghiraukan perasaannya adalah orang barbar (hal 40).

    Pada bagian bab schiller dibagian hal 44, bisa meresensi mengenai naluri bermain yakni “ di tengah tengah alam daya yang menakutkan dan ditengah tengah alam hukum yang suci, naluri pendidikan estetetis ddiam diam memnbanun alam ketiga, yakni alam permainan dan ilusi yang riang: disana ia melepaskan manusia daris emua ikatan dan membebaskannya dari semua yang bernama paksaan , baik secara jasmani maupun secara moral. jadi satu satunya menuju kebebasan politis juga melalui keindahan. 
    Dan sekarang ini, mulanya dari instagram, dunia jadi begitu indah. Orang-orang berpose indah, menampilkan barang barang indah, melakukan hal yang indah-dah, saja. Kalau waktu itu kan Hegel yang terkenal dengan dunia adalah roh, melihat seni sebagai estetika. hal yang estetis, yang indah mendekati kebenaran. Namun, kalau sekarang, apa saja terlihat indah karena bukan hakikatnya indah, tapi sengaja dibuat indah. Sama halnya Karl Rosenkranz mengeluarkan buku yang namanya estetika keburukan di 1853, kalau yang disebut seni pada konteks ini adalah pemalsuan yang luar biasa. 
    Nah, kalau kaitannya sama instagram dengan fitur-fitur yang indah sekarang, menjadi hal sederhana bahwa seni adalah indah sampai harus menyembunyikan proses. Pada bab ini, aku setuju bahwa seni tidak boleh takut menggambarkan keburukan. jadi makhluk yang sempurna hidupnya bisa saja buruk dan sebaliknya. 
    Pada bagian, benedetto croce, ngobrolin rasa dan intuisi. setidaknya menerima jawaban kalau rasa itu pasif yang menimpa kita dan jadikan bahan. namun kalau intuisi adalah pembentukan bahan tertentu, secara aktif dan rohaniah (halaman,64). dan cara mudah buat bedakan keduanya, yakni intuisi sejati sekaligus sebagai ungkapan atau ekspresi.
    Setelah melewati bab Walter Benjamin, seni sudah mulai dikaitkan dengan modernitas. Misalnya saja mengenai seni foto serta obrolan aura yang hilang karena jenis seni (misalnya foto) sekarang bisa dinikmati tanpa jarak dengan mengaplikasikannya dengan banyak. Disambung pada bagian terakhir, yakni Danto, mengungkapkan bahwa sudah berada dalam dunia yang segalanya mungkin, bahkan sungguh segalanya boleh menjadi seni. Entah sarkas atau bagaimana, ungkapan ini ada setelah Andy Warhol di tahun 1964 memamerkan kotak kayu bergambar di Stable Galerry di New York yang notabene sama saja dengan dus kemasan Brillo sebagai merek pembersih panci. Lalu apa bedanya kedua itu, hanya yang satu dus yang satu kayu. 
    Lalu, bagaimana karya seni dinilai? Eksistensi sebuah karya seni dinilai bagaimana benda itu bisa berbicara sehingga melahirkan intuisi, dan interpretasi secara konseptual penting kata hegel agar karya seni bisa diputuskan sebuah karya, tapi juga tak bisa mnegambil tempatnya, karena setiap karya seni memiliki metafora, dan disitulah yang harus dipahami maknanya. 


Posting Komentar

0 Komentar