Ketika tidak bisa melakukan perjalanan, salah satu obat terbaik adalah membaca catatan perjalanan. Titik Nol adalah buku pertama Agustinus Wibowo yang aku rampungkan, tentu saja dari buku 3 lainnya yang sudah menjadi wishlistku. Yakni, Selimut Debu, Garis batas, dan Jalan Panjang Untuk Pulang.
Panggilan untuk melakukan perjalanan rasanya begitu memuncak. Kembali membawa beban, bertemu kawan perjalanan, dan sisa-sisa beban kerjaan akan kembali diringankan. Sayangnya, belum sempat dilakukan.
Titik Nol adalah buku catatan perjalanan yang sangat membuka mata mengenai sisi lain dari setiap perjalanan yang didambakan. Nepal, Tibet, Annapurna khususnya adalah surga destinasi yang menjadi wishlist utama sejak aku terjun ke hobi mendaki. Akan tetapi, buku ini begitu realistis dan tidak mengelu-elukan sebuah destinasi yang indahnya seperti surga dunia. Tentu saja, Titik Nol kan bukan buku panduan wisata.
Titik Nol adalah buku yang yang menguatkan pernyataan bahwa pulang adalah keharusan. Karena perjalananmu bukan berhenti atau gagal, tapi kembali ke titik nol dan mulai dengan tujuan berarti lainnya.
Sadar Isu Kemanusiaan
Titik Nol memberiku banyak informasi, selain keindahan dataran, gunung, padang, salju, budaya, wanita cantiknya, dan arkeolognya, Isu kemanusiaan yang paling aku “rasakan” ketika membaca ini.
Setiap negara memiliki cerita kebaikan penduduknya, meski di beberapa negara yang dikunjungi, agama menjadi jalan untuk menghasilkan apapun (Afghanistan, Pakistan, India, Kota Xinjiang, Tibet , dll). Tapi selalu ada manusia yang memberi, dan begitu baik hati menolong penulis ketika kecopetan, sakit kuning, dan diancam.
Perjalanan ke setiap negara di Titik Nol begitu membuka mata bahwa banyak hal di dunia ini yang kita anggap khayal atau aneh, di sana begitu nyata.
Yang menarik
- Tibet ada konflik dengan tetangganya, dan ternyata, agama menjadi sebuah bahan jualan destinasi wisata.
- Perihal wanita dalam Islam, lahir di Indonesia menjadi sebuah keberuntungan ketika melihat wanita di Afghanistan haris “isolasi” mandiri selama hidupnya.
- Di negara muslim, tapi pelecehan seksual dan hal yang berbau seksual malah tinggi. Wait, bahkan, sesama cowok di touching anggapannya bukan seks tapi just for fun! Gila!
- Penulis bahkan pernah di “grepe” sama cowok di negara muslim! Sad! Ih sebel banget ceritanya.
- Afghanistan begitu penuh konflik!
- Shangrila, kashmir, mungkin keindahannya bisa jadi cerita mitos belaka. Apalagi, tentu saja karena “rebutan” di tiap negara perbatasannya.
Perjalanan bukan Jalan-Jalan
Titik Nol memang bukan buku jalan-jalan. Mungkin aku akan undur diri, atau angkat kaki jika harus menghadapi sakit kuning ditengah perjalanan dari perbatasan China ke India. Ketika semua isi dompet dicuri, atau ketika harus berada di negara penuh konflik dan bom menjadi suara alarm tiap paginya.
Selain perjalanan dengan isu kemanusiaan, perjalanan dengan isu religi sangat mewakili buku ini. Mengenai muslim, hindu, dan budha. Setiap paragrafnya, bagiku begitu bernilai. Karena tak bisa kesana langsung, setidaknya buku ini mewakili gambaran realita sesungguhnya.
Relita seperti apa? Dari yang menyebalkan hingga yang menghangatkan hati. Menyebalkan bagaimana seorang harus menipu orang dan memanfaatkan demi kepentingannya, dan menghangatkan karena setiap manusia yang ia singgahi menjadi keluarganya sendiri. Yang merawat saat sakit, dan memberi dukungan untuk mendapatkan visa untuk keluar dari negara tersebut untuk melakukan perjalanan selanjutnya.
Tapi, sebagai manusia, penulis begitu berani untuk pergi jauh meninggalkan keluarga dan bahkan menolak untuk mendapatkan beasiswa s2 nya. Bagiku, konsekuensi yang ia terima dan nilai yang ia ambil dari perjalanannya terbayarkan. Karena perjalanan ini begitu kaya dengan hal apapun.
Bacalah!
Bagiku, yang tak mampu melakukan perjalanan, buku ini bisa mewakili. Memberitahu isu kemanusiaan, religi, dan bahkan keindahan tempat yang ia kunjungi, Andai saja, ada video yang bisa merekam semua ini. Sehebat dan sesabar apa sih di setiap perjalanan yang ia lalui?
0 Komentar