Kebun Buncis



Mengingat kejadian hari ini, tidak ada yang istimewa. Kecuali, kelelahan dan tertidur saat menjelang maghrib. Terbangun sembari tergagap, komat kamit merapal doa apakah aku masih berada dalam raga. 

Dalam keadaan tergagap dan mencari kacamata, terlihat ventilasi jendela kecil di atas kamar begitu silau. Tanpa aba-aba, langsung terbesit dalam pikiran untuk terbangun dan membuka pintu kamar dan memastikan dunia luar. Sangat bersyukur dalam kelemahan dan kelelahan, aku masih hidup di dunia ini dengan tumpukan buku yang belum dibaca dan ingatan bahwa ayam sambal hijau terenak tertinggal di meja kantor.


Meski seharusnya sudah sadar dari sejak lama, ternyata tidur adalah hal paling rawan dilakukan. Antara hidup dan mati, antara maya dan realita. Apalagi berkaitan mimpi. Topik yang sangat menarik, meski sampai sekarang, belum juga aku selesaikan buku The Interpretation Of Dreams oleh Freud atau Why We Sleep oleh Walker. Begitu menarik tapi rasanya tidak begitu tertarik, untuk merampungkannya.


Tahun ini begitu berat. Hanya saja, aku cukup memikirkannya barang 24 jam saja. Setelah itu aku tutup mata. Setidaknya, sebentar lagi Februari. Hampir 25 hari dalam 366 hari di tahun ini terlewati. Cukup hebat juga Aku!


Untuk menemani tahun berat ini, aku mulai kembali fokus untuk Reading Challenge yang sebelumnya masih berantakan. Saat ini, aku masih di halaman 243/420 dari buku Walden karya Thoreau. Ada bagian bab “kebun buncis” yang aku suka. Memang, membaca dan menulis menjadi sebuah preskipsi ketika hidup sedang berusaha untuk baik-baik saja.

..lantas bagaimana bisa panen kita gagal? Bukankah seharusnya saya juga bergembira melihat berlimpahnya rumput liar yang bibitnya merupakan santapan bagi burung-burung?Tidaklah terlalu penting apakah ladang mampu memenuhi gudang petani. Petani sejati tidak akan cemas, sebagaimana tupai tidak khawatir apakah hutan akan menghasilkan kastanye tahun ini atau tidak, dia hanya perlu menyelsaikan pekerjaannya setiap hari, melepaskan tuntutan atas hasil panen ladangnya, dan mempersembahkan buah pertama dan buah terakhir di dalam benaknya.  

Setidaknya, kutipandan dalam buku Walden halaman 212 di atas, bukan hanya petani atau tupai. Namun aku perlu belajar untuk menjadi bagian di dalamnya. Untuk tidak terlalu khawatir dengan urusan Tuhan. 

Posting Komentar

0 Komentar