Terlepas dari identitas yang kental yang kerap melahirkan opini prematur mengenai orang Tangtu (Baduy Dalam), mereka sama seperti kita. Sayangnya, kita belum tentu sama seperti mereka.
Sama bukan menjadi tujuan! Oke. Tapi setidaknya kita perlu malu karena sudah hadir dalam dunia mereka, dan dengan segala kekurangan dan etika yang morat-marit. Mungkin, satu dari puluhan orang tanpa sengaja hanya memanfaatkan ramah tamah dan kebaikan. Meremehkan bantuan yang penuh pesan moral, yang ditukar dengan uang seratus atau dua ratus ribu rupiah. Tanpa ada kata pembuka minta tolong, dan penutup Terima Kasih.
Dalam perjalanan ini, manusia ternyata berevolusi menjadi pongah. Karena Tuhan tak kasat mata menghadiahkan pikiran yang semakin ditempa bukannya semakin pintar malah semakin 'goblok'. Halah, mencari jati diri? Mencoba bersyukur dengan apa yang kita punya saat ini? Ucapkan kata permisi, minta tolong, dan sekedar senyum saja belum tentu mampu. Manusia memang penuh dramaturgi.
Lalu, meskipun terbesit pikiran yang pesimistis seperti dua paragraf di atas, untungnya bisa ditenangkan dengan filosofi baju adat teman Tangtu yang berwarna hitam dan putih. Bahwa tidak ada orang yang benar benar baik, dan tidak ada orang yang benar-benar jahat.
0 Komentar